Jumat, 06 November 2009

Cicak dan Buaya dalam Puisi Indonesia Modern



oleh Asep Sambodja

Ketika puisi Tulus Wijanarko yang berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” muncul di facebook saya, spontan saya mengatakan, inilah puisi Indonesia terbaik bulan ini. Ketika itu bulan menunjukkan Oktober 2009. Saya seperti menemukan kembali puisi yang bermanfaat bagi orang banyak, bagi masyarakat. Selama ini, terus-terang saja, dunia puisi Indonesia modern didominasi oleh apa yang dikatakan Rendra sebagai penyair-penyair salon. Mereka menulis puisi tanpa melihat jeritan batin rakyat kecil. Hal itu seperti menjadi lumrah dalam media massa kita. Sah-sah saja penyair-penyair salon itu bicara tentang persoalan pribadinya, kemelut hati, eksplorasi dan bahkan eksploitasi seks, silakan saja. Karena menulis topik apa pun pasti memiliki dasar yang sangat kuat, yakni kebebasan ekspresi.

Hanya saja, penyair yang peduli dengan kehidupan rakyat kecil itu masih sedikit jumlahnya. Kalaupun ada, maka posisinya selalu dipinggirkan, termarginalkan. Kita ingat ketika Rendra muncul dengan puisi-puisi pamflet, maka yang melecehkan bukan saja penyair-penyair salon, melainkan penguasa yang tak tahan kritik. Rendra pun dipenjara. Kita ingat ketika Wiji Thukul muncul dengan puisi-puisi perlawanannya, tak ada koran yang berani memuat puisinya. Ia malah diculik dan dibunuh oleh Rezim Orde Baru.

Kini, ketika puisi Tulus Wijanarko terbit di media online, dalam hal ini facebook, seakan-akan ada sinar yang menerangi jagad perpuisian Indonesia. Setelah Saut Situmorang dan Heri Latief, kini saya menemukan sosok penyair antipenindasan yang melekat pada diri Tulus Wijanarko. Puisi Tulus ini lahir tidak seperti bintang yang jatuh dari langit, melainkan ada konteksnya. Dan, rakyat Indonesia tahu dan paham apa yang tengah terjadi di dunia penegakan hukum kita.

Makanya, agak aneh rasanya jika kenyataan yang kita lihat adalah persekongkolan busuk yang sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, penyair malah bicara tentang payudara atau tentang bunga. Menurut saya, boleh saja mereka menulis puisi tentang itu, tapi jangan selamanya menutup mata, jangan membohongi hati nurani sendiri dengan sembunyi di balik selimut “seni untuk seni”.

Dalam hal ini, saya sepakat dengan Adnan Buyung Nasution, bahwa persoalan hukum jangan hanya dilihat pada segi normatif legalistiknya saja, jangan hanya dilihat pasal-pasalnya saja, tapi lihat dan perhatikan juga rasa keadilan masyarakat. Demikian pula dengan menulis puisi, jangan hanya dilihat bentuk formalnya saja, tapi selami dan hayati persoalan-persoalan yang tengah dirasakan rakyat. Dalam koridor seperti itulah saya sangat beruntung menemukan kembali puisi perlawanan dari seorang penyair yang juga wartawan Koran Tempo, Tulus Wijanarko.

Jujur saya katakan, sebelum menulis puisi perlawanan ini, Tulus banyak menulis puisi-puisi yang mengangkat masalah keseharian, yang mengingatkan kita pada Pak Besut dan Umar Kayam; yang kini diteruskan Bakdi Soemanto. Bahkan saya sempat memberi julukan “Penyair Angkringan” kepada Tulus Wijanarko karena puisinya tentang angkringan membangkitkan nostalgia pada Yogyakarta.

Sebagaimana Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed M.D. yang mengukir sejarah pada Selasa, 3 November 2009, karena membongkar mafioso peradilan di Indonesia; yang memperdengarkan rekaman seorang cukong bernama Anggodo Widjojo yang dengan begitu entengnya mengatur penanganan hukum terhadap adiknya, Anggoro Widjojo, yang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang mengejutkan jutaan rakyat Indonesia adalah: yang diatur oleh Anggodo ini adalah pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kejaksaan Agung dan Polri. Tidak hanya itu, advokat atau pengacara atau lawyer yang seharusnya “membela yang benar” dan bukannya “membela yang bayar” itu juga diperlakukan seperti kuli. Seperti tukang. Tukang yang dibayar secara borongan. Karena, kata Anggodo dalam rekaman percakapan itu, uang sebesar Rp5 miliar yang dikucurkan itu bukan hanya sebagai lawyer fee, tapi juga untuk pejabat-pejabat di dua lembaga penegak hukum itu.

Tentu saja ini menyakiti hati rakyat banyak. Kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan Agung dan Polri pun melorot tajam.

Tulus pun demikian. Dalam konteks seperti itulah muncul puisi berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” karya Tulus Wijanarko. Puisi ini pun langsung saya muat dalam blog Puisi Indonesia Modern (http://puisiindonesiamodern.blogspot.com) sebagai penghargaan yang saya berikan kepada sang penyair. Berikut ini adalah puisi Tulus yang saya maksud:

Sajak Perlawanan Kaum Cicak

karya Tulus Wijanarko


Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

28/09

Menurut saya, puisi Tulus di atas memperlihatkan keberanian yang luar biasa yang dimiliki penyair. Puisi perlawanan ini bisa berfungsi ganda. Pertama, puisi tersebut merekam perasaan penyair yang merepresentasikan manusia Indonesia pada umumnya, sekaligus menjadi bagian penting dalam sejarah pemberantasan mafioso peradilan di Indonesia dan mampu merekam semangat zaman. Kedua, puisi ini menjadi bara yang membangkitkan keberanian pada rakyat untuk melawan ketidakadilan. Meskipun para pejabat-pejabat yang keseleo lidah mengatakan dirinya sebagai buaya itu berkelit, bersilat lidah, dan akting di depan kamera televisi, namun sejatinya rakyat sudah tahu bahkan melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri; betapa bobroknya aparat penegak hukum di Indonesia. Betapa menyedihkan!

Ketika saya berkunjung ke facebook Saut Situmorang, saya membaca sebuah puisi perlawanan yang lain. Puisi “Negeri Para Bedebah” itu ditulis oleh Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Puisi itu dikirim oleh Wanda Hamidah ke facebook Saut Situmorang. Tak lama setelah itu, saya juga menyaksikan pembacaan puisi itu oleh Adhie Massardi di Metro TV. Selengkapnya saya kutip puisi itu di sini:

Negeri Para Bedebah

karya Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Puisi Adhie Massardi tersebut sangat simbolik dan menggunakan idiom-idiom keislaman. Dari puisi tersebut, pesan yang ingin disampaikan penyair sangat jelas; baik dilihat dari judul puisi maupun kata-kata yang digunakan sang penyair. Keberpihakan penyair pada wong cilik, kaum tertindas, juga tampak jelas dalam puisi tersebut. Hanya saja, jika dibandingkan dengan puisi Tulus Wijanarko, maka terbaca bahwa puisi Tulus sangat menikam.

Sebenarnya penyair tidak perlu menjelaskan “anak rohani”-nya kepada pembaca. Kalau dijelaskan, maka sama saja kita menjelaskan “proses persetubuhan” yang telah kita lakukan hingga lahirlah karya itu; lahirlah “anak rohani” sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer. Tapi, perlu saya jelaskan di sini: karena puisi Tulus di atas merupakan bagian dari sejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, maka ada baiknya penyair pun memberikan semacam kesaksian mengenai proses kreatifnya. Ini bukan untuk gaya-gayaan, melainkan untuk mengetahui bagaimana proses kelahiran sebuah puisi yang saya katakan terbaik untuk bulan Oktober 2009. Bahkan bisa jadi puisi itu merupakan puisi terbaik tahun 2009.

Meskipun demikian, saya pun membuka ruang yang sebebas-bebasnya buat pembaca untuk menafsir dan menginterpretasikan puisi Tulus Wijanarko dan Adhie Massardi.

Citayam, 6 November 2009

LAMPIRAN:

Sajak Perlawanan Kaum Cicak: Sebuah Proses Kreatif

oleh Tulus Wijanarko

Sajak ini muncul karena kemarahan. Saya mendengar berita penahanan dua petinggi KPK (non-aktif) Chandra Hamzah dan Bibit Riyanto dari sebuah running news di sebuah televisi, 20 Oktober, sekitar Maghrib. Saat itu saya masih di kantor dan mendiskusikan rencana berita yang akan turun esoknya denga teman-teman.

Berita itu sangat mengejutkan. Karena, setidaknya saya, sebelumnya tak mendengar isyu-isyu bahwa Chandra dan Bibit akan ditahan. Hal-hal seperti ini, biasanya sudah terdengar selentingannya sejak pagi atau sehari sebelumnya. Kali ini tidak.

Ternyata bukan hanya saya, hampir semua orang terbakar amarahnya atas peristiwa yang menimpa Bibit—Chandra itu. Khalayak menganggap keduanya korban dari kedzaliman dan arogansi kepolisian. Rasa keadilan masyarakat terkoyak.

Kemarahan itulah yang saya rasakan sepanjang malam itu. Hingga dalam perjalanan pulang pun, saya belum bisa meredakan diri. Saya berpikir, kemarahan ini harus disalurkan. Perlawanan harus dilakukan atas kesewenangan ini. Dan saya bermaksud mewujudkannya dalam sebuah puisi.

Maka sambil mengemudikan mobil menuju rumah di Bekasi, pikiran saya rusuh. Saya berusaha mengendapkan kemarahan, seraya terus berpikir menemukan formula penulisan yang pas bagi puisi perlawanan ini.

Saya mencari formula: bagaimana agar dalam puisi ini muncul nuansa kemarahan dan perlawanan yang kental, tetapi tidak membabi buta. Tetap ada sentuhan estetika. Karena kalau membabi-buta, apa bedanya dengan makian-makian kasar?

Meski demikian, saya tak ingin terpenjara begitu keras pada estetika--jika karena hal itu menyebabkan puisi saya nanti kehilangan substansi perlawanannya!

Terus terang, pada saat memikirkan itu, saya lalu teringat sajak-sajak (perlawanan) Wiji Thukul. Kebanyakan sajaknya dibangun dengan pilihan kata-kata yang lugas dan tegas. Pola pengkalimatannya juga sederhana dan langsung ke pokok sasaran.

Tetapi sajak-sajak Thukul tidak jatuh menjadi sarkas, karena –menurut saya— dia memperhatikan struktur. Beberapa sajaknya memilih struktur repetitif, yang akhirnya menimbulkan dua “dampak”: secara sastra ia menjadi indah, dan secara substansi pesan yang disampaikan akan semakin menonjok.

Saat itulah saya memutuskan sajak ini akan ditulis dengan cara demikian. Lalu saya mulai memikirkan substansi isinya yang berangkat dari kasus penahanan itu. Kesimpulan saya satu: penahanan Bibit-Chandra adalah pertunjukan telanjang dari tunduknya aparat penegak keamanan oleh mafia peradilan. Nah, fenomena inilah yang akan saya tulis.

Lalu saya masuk tahap berikutnya, yakni mulai memikir-mikirkan kosa kata yang akan saya gunakan. Juga fomulasi pengkalimatannya. Semua proses ini berlangsung selama perjalanan dari kantor menuju rumah. Waktu tempuh perjalanan itu kira-kira sekitar 1,5 jam.

Begitu sampai di rumah, saya langsung membuka komputer dan mulai menulis. Saya tak perlu waktu penjang lagi, karena pengkalimatannya sudah saya temukan sepanjang perjalanan tadi. Tetapi, toh, proses penulisan ini berlangsung sampai lewat tengah malam. Sebab saya bertekad harus menuntaskan sajak ini malam itu juga. Karena kalau ditunda, saya takut kehilangan –kata anak zaman sekarang—kehilangan feel. Saya takut kehilangan touch.

Akhirnya, jadilah puisi ini.

Citayam, 6 November 2009

Tidak ada komentar: