Minggu, 08 November 2009

Kepada Eko Endarmoko



oleh Asep Sambodja

Mas Eko “Tesaurus” Endarmoko yang baik, terima kasih banyak atas pertanyaan-pertanyaannya yang bergizi atas artikel saya, “Sejarah Sastra Indonesia Modern Versi Bakri Siregar” (9 Oktober 2009). Sebenarnya saya sudah menulis tentang sejarah sastra Indonesia dengan cukup panjang dalam “Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia” (dalam Suhardiyanto, 2005). Kalau membicarakan khazanah sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Indonesia, ini sama dengan pemikiran Umar Junus yang mengatakan “Sastra ada setelah bahasa ada”. Tentang hal ini, kalau merujuk pada bahasa Indonesia yang lahir pada 28 Oktober 1928, maka mubazirlah karya sastra Indonesia yang lahir sebelum itu.

Mengenai sastra tentang Indonesia dan yang terbit di Indonesia, ini semua orang bisa melakukannya; tidak perlu dia harus punya KTP atau SIM di Indonesia. Jadi, mengenai hal ini tidak bisa dijadikan ukuran.

Sastra karya orang Indonesia adalah yang menjadi fokus perhatian saya. Saya tidak lagi membedakan sastra Indonesia dan sastra nusantara. Pengertian “nusantara” juga sekarang ini agak longgar karena Malaysia dan negara tetangga juga menggunakan istilah ini. Saya lebih “sreg” dengan istilah sastra Indonesia dan sastra di Indonesia. Yang dimaksud dengan sastra di Indonesia adalah karya sastra yang menggunakan berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia. Kalau sastra yang menggunakan bahasa daerah tidak diklaim sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia, apa kata dunia? Hal itu nantinya bisa dikategorikan sebagai primordialisme atau yang lebih parah lagi bisa diklaim oleh negara lain. Ini serius, karena ada karya sastra berbahasa daerah yang bahasanya mirip-mirip dengan bahasa negeri sebelah. Ataupun, ada Suriname di sebelah sana.

Yang ingin saya katakan adalah “melindungi aset budaya bangsa Indonesia, menyelamatkan pikiran dan perasaan yang diekspresikan oleh orang Indonesia dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah”. Contoh yang sudah ada adalah karya Mas Marco Kartodikromo yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Contoh terkini adalah karya Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Begitu juga Suparto Brata yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Premis saya ini memang sudah dikritik oleh Melani Budianta, karena logistiknya akan “amat sangat banyak sekali”. Ini kan risiko kita sebagai warga negara yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Jadi, mau tidak mau kita harus mengeksplorasinya. Kerja seperti ini memang tidak selesai satu dua hari. Butuh waktu dan tenaga yang luar biasa juga. Saya sedang mencontoh apa yang dilakukan Majalah Tempo yang menguak misteri peristiwa G30S 1965; setiap tahun dia menguak misteri itu satu demi satu, sedikit demi sedikit. Lama-lama misteri itu akan terkuak juga. Bukankah itu dikerjakan banyak orang dan memakan waktu yang cukup lama. Jadi, perlu kesabaran dan ketekunan dan ketelatenan juga.

Soal pembabakan sejarah sastra selama ini yang belum valid, saya pikir menjadi tugas kita semua untuk menyempurnakannya. Apa yang tengah saya kerjakan ini memuat ambisi seperti itu, hanya saja saya pun maklum bahwa apa yang akan saya hasilkan nantinya belumlah sempurna. Dan tidak ada yang sempurna. Saya pikir Tesaurus Bahasa Indonesia yang sudah dibikin oleh penulisnya sampai “nungging-nungging” itu pun masih perlu diperbaiki; belum sempurna. Demikian pula yang sedang saya kerjakan ini. Yang penting dan yang harus diingat oleh kita semua adalah kata-kata sakti dari Maxim Gorki agar kita tidak begitu saja dibohongi oleh penguasa, bahwa the people must know their history. Kiranya begitu, Mas Eko Endarmokoku tercinta.

Citayam, 9 Oktober-8 November 2009

Tidak ada komentar: