Selasa, 10 November 2009

Penyair sebagai Pilar Kelima Demokrasi



oleh Asep Sambodja

Dapatkah penyair berfungsi sebagai pilar kelima demokrasi? Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya F.L. Risakotta, maka fungsi tersebut bukanlah suatu utopia. Bahkan penyair terlihat mampu merekam dengan baik apa yang tengah dirasakan oleh masyarakat dan mengartikulasikannya secara jernih serta penuh kejujuran. Dengan demikian, presiden harus benar-benar mendengar dan membaca apa yang ditulis oleh penyair dan sastrawan pada umumnya. Karena, pesan yang disampaikan penyair bukanlah bernada “asal bapak senang”, melainkan segala macam penderitaan rakyat. Mereka menulis secara apa adanya segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.
Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya Risakotta ini tampak bahwa penyair benar-benar mengetahui perkembangan sosial politik yang terjadi di sekitarnya; sekaligus memposisikan dirinya berada di tengah-tengah rakyat—ini yang dinamakan hati nurani rakyat. Jika dilihat dari tanggal penciptaan puisi tersebut, terbaca bahwa puisi ini ditulis setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan berbagai macam alasan, di antaranya tidak efektifnya sistem parlementer ala Barat dan timbulnya berbagai pemberontakan di daerah yang dilakukan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Dalam buku Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, Baskara T. Wardaya (2008) menjelaskan secara gamblang keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan separatis itu. Amerikalah yang memasok senjata kepada pemberontak-pemberontak yang ada di daerah (Ricklefs, 2005).
Penyair dengan jelas memposisikan dirinya sebagai pendukung setia Presiden Soekarno. Pada tahun 1950-an akhir citra PKI memang semakin baik di mata rakyat, karena visinya yang antiimperilisme dan anti-neokolonialisme. Presiden Soekarno sendiri memberi tempat di kabinet, karena menurutnya, tanpa memberi tempat pada PKI untuk duduk di kabinet seperti kuda yang berkaki tiga. Bung Karno memberi ruang pada PKI karena partai ini masuk dalam the big four hasil Pemilu 1955. Ternyata kebijakan Bung Karno itu tidak hanya membuat gerah PSI dan Masyumi, tapi juga bikin gerah Amerika Serikat, karena terbaca bahwa Soekarno sudah mulai condong ke kiri.
Risakotta yang merepresentasikan masyarakat Indonesia pada saat itu, yakni pada pertengahan 1950-an akhir, menyatakan dukungan dan kesetiaannya kepada Bung Karno. Tapi, sekaligus menuntut agar Bung Karno juga memberantas kaum separatis itu. Sebab yang dirasakan rakyat pada saat itu sungguh kompleks. Di satu sisi, rakyat baru saja memperoleh kemerdekaan pada 1945 dan berupaya menata cita-cita untuk kemakmuran rakyat. Namun, di sisi lain, ada upaya pihak Barat yang diwakili Belanda, untuk kembali menduduki Indonesia. Ini terlihat dari adanya agresi Belanda yang berakhir di Meja Bundar.
Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI yang antiimperialisme dan keinginan desentralisasi kekuasaan menimbulkan reaksi di berbagai daerah. Rakyat yang berada di daerah tentu saja tidak bisa melakukan perlawanan terhadap gerombolan pemberontak itu, karena mereka sudah tidak bersenjata. Di tingkat pusat sendiri muncul dualisme dalam menyikapi gejolak di daerah ini. Soekarno ingin menggunakan militer, sementara Muhammad Hatta ingin menggunakan jalur perundingan. A.H. Nasution yang mencoba mempertemukan Soekarno dengan Hatta menemui jalan buntu. Akhirnya Soekarno menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat, dan militer yang mengambil peran lebih besar dalam penyelesaian konflik itu.
Puisi “Balada Rakyat Indonesia” ini memperlihatkan bagaimana penyair benar-benar menyelami perasaan rakyatnya. Tentu saja di dalamnya ada kecemasan, kalut, geram, bingung, dan mungkin semangat untuk berjuang, macam-macam, namun yang pasti penyair Risakotta menunjukkan kesetiaannya kepada Bung Karno. “Setelah dua bulan kita berpisah, jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno, tapi kami tetap setia,” tulis sang penyair. Saya melihat kebersahajaan puisi ini karena sang penyair mencoba membaca situasi sosial politik 1950-an yang saling carut-marut tak kauran dengan bahasa yang demikian terjaga, tanpa emosi yang gegabah. Bahkan terbaca dengan jelas bahwa penyair bisa mengendapkan gejolak politik itu dalam dirinya dan menuturkannya dengan bahasa yang jernih. Meminjam idiom Y.B. Mangunwijaya, penyair Risakotta berjiwa seperti laut yang menampung segala sampah dan segala comberan untuk ditampung ke dalam dirinya. Kemudian sampah-sampah dan comberan itu ia endapkan ke dasar laut. Dan laut memberikan ketenangan, meski di dalamnya penuh gejolak. Demikianlah penyair Risakotta.


Balada Rakyat Indonesia

I

senjata ini kami lepaskan setelah pertarungan matimatian, Bung Karno
karena cita-cita menyela pada hati dibakar perjanjian demi perjanjian
kami patuh dan setia dengan keyakinan penuh harap
karena cita-cita ini tidak pernah pudar pada asap dan kertas putih
kami tinggalkan hutan yang menyanyi tiap pagi
ketika kami diburu dan kota habis dihangusi
kami ungsikan diri, Bung Karno
bukan karena mati dan ketakutan tapi lentera pada hati menyala menyimpan cita-cita
ratusan kami berbaris menghadang musuh dengan bambu yang begitu setia
berbanjar seperti benteng tiada terkalahkan
ribuan kami mandi darah di atas tanah kesayangan, karena setia, karena cita-cita mulia

ketika laras kami berdebu di kota-kota
dan tapak kaki-kaki ini belah-belah karena tiada alas
rupa dan wajah kami tiada pernah mengharap karena cita-cita masih
terdukung di berat punggung
kami lantangkan suara meski parau mendekam
kami nyanyikan kemenangan meski ini kekalahan yang dipaksakan
kami teriakkan perlawanan ini suatu permulaan kesyahduan

kami baris, Bung Karno
pada tangan-tangan kurus tiada berdenyut nadi
sepanjang kota rakyat menanti kemerdekaan dan cita-cita
dan kami terus berbaris, kami terus menghentakkan kaki
meski di sisi rakyat membakar cita-cita karena kesetiaan belum nyata
kami jelajahi kota, kami masuki desa, Bung Karno
karena Indonesia, karena cita-cita kita bersama

senjata ini di depanmu kami jamah tanda hormat dan kasih kita
di penghabisan kali karena kami harus menyisih dari barisan senjata
kami bukan orangnya yang mendendam dengan senjata dan penembakan
kami bukan orangnya sisa-sisa pertempuran yang mengharap balas dan bintang jasa
kami bukan pejuang yang didaftarkan di satu kementerian
tapi kami penjelajah hutan ketika revolusi, penggempur kota dan pendukung
setia cita-cita kemakmuran bangsa

inilah kami Bung Karno
yang setia ketika tiada malam dan kelam dalam diri dan hari depan
kami yang masih merayap di kaki bukit ramamandala, di hutan-hutan kerinci,
kuningan dan bolangmangondow
ya, kamilah Bung Karno yang mengharap merek tapi tiada bertanda

dulu kami lepaskan senjata karena kami setia pada cita-cita rakyat
kini kami ditumpas lepas hanya pegangan pada hati
mungkinkah sembilu penghabisan menyayat cita-cita ini bila
keganasan gerombolan mengerkah cita-cita merdeka?

Bung Karno, usang sudah cita-cita ini bila kemenangan tiada di hati kami
remuk dan musnah rumah kampung halaman kami dan istri harus mati
bertekuk di kebiadaban gerombolan sedang kami harus lari
menghindar diri demi merdeka dan cita-cita
adakah yang lebih pahit dari ini Bung Karno, bila napas yang sisa ini
menumpas setiap keganasan, kebuasan, tapi di musim damai kami didera—
disiksa oleh sisa-sisa gerombolan dan hidup merungkak di tanah
berbatu? atau mengharap perintah dari tangan yang tiada pernah berlaga?

ya, Bung Karno, senjata ini kami serahkan demi cita-cita bangsa
tapi padamu Bung Karno, tiada pada siapapun


II

kami harus menekan tumpas karena derita masih menyala
memanggang diri dan airmata
kami harus menekukkan kepala karena hati cinta nusa masih membakar
diri sedang punggung berat membebani cita-cita
kami tidak meminta, Bung Karno, karena kami manusia perjuangan
kami tidak mengharap, Bung Karno, karena kami manusia kerja
tapi kami menuntut, Bung Karno, karena jiwa kami terancam gerombolan dan
hati ini pedih ditindas modal asing
juga kami mati akan setia dan kemegahan demokrasi, Bung Karno,
karena apalah arti cita-cita yang menyala ini andai suara tersumbat
dan tangan kaku di atas kertas putih

Bung Karno, padamu kami dukungkan cita-cita kami sejak revolusi dulu
karena tanpa cita-cita ini kita bukan apapun di bumi Indonesia
ketika ini padamu pimpinan kami serahkan tapi bukan pada siapa-siapa


III

ketika meriam menggelegar 21 kali di kemayoran
senja memisahkan kami, pendukungmu, Bung Karno—
dari istanamu yang putih mengapur
tapi suara dan teriak kami menggelegar memecah senja lebih keras
dari meriam, Bung Karno, meski saat itu kita disisihkan dalam senja
kami menanti dengan hati bukan dengan senjata dan meriam karena senjata
telah kami serahkan ketika revolusi dan setia kembali ke desa
sedang di hati cita-cita ini lebih tajam dari senjata, juga lebih indah dari istana
Bung Karno, kami menanti di depan istana, tapi kita berpisah
karena senjata di depan kami
kami tahu Bung Karno, seperti kau pun tahu bahwa batas kita ini
hanya sementara, bahwa pemisahan kita hanya seketika apakah
yang lebih abadi selain cita-cita, Bung Karno
karena kami pun percaya seperti kau juga mengerti bahwa meriam bisa diam
kalau hati bersusun satu, Bung Karno, tapi imperialisme dunia pun
bisa hancur bila kami pendukung setia cita-cita bangsa

di bawah kesamaran senja dan lampu-lampu, Bung Karno, wajahmu menyala
setelah dua bulan kita berpisah
jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno
tapi kami tetap setia

suaramu yang kami nantikan seperti apa yang diharapkan hati ini Bung Karno
ucapan yang melaut di hati dan benak kami, mencatat kemenangan, karena
kita berkisar di satu arah di mana dulu kita pernah mengalah
kita kembali ke jalan lama di mana revolusi menuntut kemenangan
dengan senjata cita-cita yang abadi, kemerdekaan, kebebasan, dan kemakmuran
teriakmu naik ke langit malam dan di bintang menyatu diri
kami penanti, Bung Karno, dan suaramu suara kami kembali ke jalan


IV

berhari kita berkira dalam diri dan cita-cita lautan kemegahan
dan keadilan rakyat Indonesia
ke manakah arah angin kan bertiup bila lentera di tanganmu, Bung Karno,
kami satukan langkah, bila napasmu menapasi hati kami
kami sediakan diri, Bung Karno, andai derita dan kepahitan kita dukung bersama
Bung Karno, mimpi kami tidaklah seindah hati dan cita-cita kami
karena berat badan tiada terungkai andai kami terus dirangsang ketakutan
diburu kehancuran, dalam tangan cita-cita demokrasi
tapi kami percaya, Bung Karno, meski cita-cita ini diperam, ia pasti lebih membaja
lebih menyala dari bintang-bintang, tapi juga lebih menggelegar dari meriam
Bung Karno, atasmu cita-cita ini kami serahkan, tapi cita-cita ini
adalah milik kita, Bung Karno
kebenaran cita-cita akan menggaris dalam sejarah, siapa yang setia
dialah pemenang, Bung Karno

Bung Karno, kami pejalan panjang dari revolusi ke jalan revolusi dan
hati tiada henti mendukung cita-cita rakyat indonesia, meski malam jemu
menutup mata seluruh manusia

Kayu Awet, 21 Juli 1959


Citayam, 11 November 2009

Tidak ada komentar: