Sabtu, 19 Desember 2009

Nyanyian Hersri Setiawan untuk Maharaja $uharto



oleh Asep Sambodja

Dalam buku Inilah Pamflet Itu, penyair Hersri Setiawan (2007) menulis Rezim Orde Baru dengan “Rejim Orde Baru”; demikian pula Soeharto dengan “$uharto”. John Roosa (2008) juga sengaja menulis Soeharto dengan “Suharto”. Hersri Setiawan tidak saja menulis nama Soeharto sesuai dengan ejaan aslinya, tapi mengganti huruf awal nama itu dengan lambang mata uang Amerika: dolar.

Dari sini saja kita sudah membaca besarnya masalah yang berada dalam pikiran Hersri Setiawan. Pertama, penggunaan judul “Pamflet” dalam buku puisinya menyuratkan bahwa puisi-puisi yang terdapat dalam buku ini adalah puisi pamflet, yakni puisi yang dimanfaatkan oleh penyairnya untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya secara lugas; apa adanya.

Kedua, Hersri sengaja mendobrak kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang dibuat oleh Pusat Bahasa (2008). Ia menulis “rejim” dan bukan “rezim” sebagaimana yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga dalam Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko (2006). Ini menyiratkan bahwa yang ingin disampaikan Hersri Setiawan itu bukan sesuatu yang sudah dianggap lazim; ada sesuatu yang lain, ada suara lain yang ingin disampaikannya.

Ketiga, kenapa Hersri menuliskan “$uharto”? Untuk menjawabnya, saya mengutip pendapat Robert Cribb (2005), M.C. Ricklefs (2005), dan John Roosa (2008). Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Pada bulan Oktober 1965, pembunuhan dimulai. Kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Njoto tertembak kira-kira pada 6 November dan D.N. Aidit pada 22 November, Lukman juga segera tewas setelahnya. Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban begitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tak terlupakan bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian merasa bahwa pembunuhan massal ini merupakan peristiwa paling memalukan dan tak bisa dimaafkan. Banyak orang ditahan, diinterogasi (sering di bawah siksaan) dan ditahan tanpa pemeriksaan pengadilan. Jumlah korban ketidakadilan ini sedikitnya 100 ribu orang (Ricklefs, 2005: 565-566).

Rezim Suharto membenarkan tindakan represi berdarahnya terhadap PKI dengan menekankan bahwa partai itulah yang memulai dan mengorganisasi G30S. Walaupun aksi-aksi pada 1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan berskala kecil dan terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh kalangan sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis. Rezim Suharto terus-menerus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda negara: buku teks, monumen, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional. Rezim Suharto memberi dasar pembenaran keberadaannya dengan menempatkan G30S tepat pada jantung narasi historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak terperikan (Roosa, 2008: 8-9). Washington sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G30S dan merangsak menghantam kaum komunis. Sementara Washington mengemukakan setiap pelanggaran hak asasi manusia di Blok Soviet sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam Perang Dingin, ia mengabaikan dan memberi pembenaran atau bahkan bersekongkol dalam kejahatan yang dilakukan oleh rezim-rezim yang bersekutu dengan Amerika (Roosa, 2008: 18-19).

Setelah Soeharto lengser, para korban tragedi 1965 yang masih hidup kembali bersuara lebih lantang, karena sejauh ini Negara tidak pernah mempedulikannya. Wakil rakyat yang duduk manis di MPR dan DPR seringkali membutatulikan mata hatinya. Dan, inilah salah satu puisi pamflet Hersri Setiawan untuk mengenang kekejaman Soeharto terhadap bangsanya sendiri.

In Memoriam Rejim Orde Baru
—nyanyian untuk maharaja $uharto

1
tiga puluh dua tahun yang lalu
tuan katakan orde baru harus dibangun
dan itu suara barisan serdadu haus darah
niscaya bukan cuma raungan macan kertas

tapi tidak adalah yang semua-mua hampa
butir-butir jernih keringat serta merah darah

di mana-mana merah putih berkibaran
kata tuan demi kebenaran dan keadilan
kata tuan demi ampera dan pancasila

tiga puluh dua tahun yang lalu
tuan katakana yang kominis hantu dajal
dan itu suara pedang kabir* berganda sakti

hari ini komunis ditebas bagaikan pacing
hari esok akal sehat dipenjara dan diburu

paduan suara serdadu bayaran kabir
memang bukan cuma angin padang pasir

plonco-plonci hura-hura menyanyi-nyanyi
konon demi repiblik dan demi proklamasi
konon demi ini itu selain demi kamu sendiri
bahkan tuhan pun tidak kuasa bilang jangan

urusan politik tuan-tuan kemas menjadi iman
nafas massa tuan-tuan santhet menjadi thuyul

dalam kurungan gading para pakar serta jamhur
digulung mantra hongwilaheng asap kemenyan

dan semua-mua
selain para paria
dibuai lagu ninabobo
lelap senyap
jatuh tertidur

dan semua-mua
selain para paria
yang dipenjara dan dikubur
dibanjir yen dan dolar
terlelap tidur

2
tiga puluh dua tahun yang lalu
telah tuan-tuan bangun taman orde baru

bale kambang di lahan telaga darah dan luh
dipayungi intimidasi bayangan palapa dua
dan permadani poster-poster porno tergetar

kemudian sejurus sementara semua terkesima
monumen sukarno dibangun khidmat di sana
di pakistan ali bhutto mati digantung
di “Jalan Jakarta” allende diberondong
berseru-seru wertheim mcvey dan anderson

kemudian jadilah sementara semua terguncang
ketika matahari sudah terlalu tinggi di langit
ketika timor timur dibikin menjadi karang abang

dan mengapa ada pastor berdiri di kedungombo
dan karena upah kerja marsinah harus mati

lalu semua bersaksilah
di mana kartini
di mana marsinah

3
oi keroncong kincir
kincir dari betawi

lalu semua diam kelu
mana aidit lukman njoto
mana tiongjing mana nio

oi ini lagu
lagu keroncong
keroncong kincir dari betawi

merah putih jadi azimat
pancasila jadi mantra
saptamarga jadi senjata
lalu semua sarat
berpadu suara sumbang
indonesia raya
merdeka merdeka
tanahku negeriku
yang kucinta
indonesia raya

ah
kamu
yang
cuma
tumbal bekakak

mati
mati
mati
mati
mati

kemudian semua melihat dan mendengar
ada asap kelabu bergulung membubung
dari buku-buku terlarang yang dibakar
ada suara jerit tangis yang meraung
dari yang hidup hanya jadi bilangan

merdeka
dalam satu suara
bersama
dalam genggaman monopoli
separuik periuk konglomerasi

dan tuan-tuan terkesima
dan tuan-tuan terjaga
dan tuan-tuan mencari
di depan beribu jalan
mencari jalan

la lela lela ledhung
cep menenga cep mengenga

ada borgol setan subversi
ganas bagai setan banaspati
tapi jiwa siapa bisa didhadhung

4
tga puluh dua tahun telah lalu
tuan katakan orde baru harus dibangun
dan dua puluh tahun sejarah republik
tuan katakan hikayat orde lama
“musti dibersihken dengen cara apa pun”

lalu tuan-tuan bersorak sorai
sukarno gestapu agung
hartini lonte agung
gerwani lonte pe-ka-i
aidit kerak neraka

satu jenderal seketi komunis
tumpas seakar-akarnya
tumpas
tumpas
tumpas

gantung
gantung
gantung

hidup pak anu hidup pak ini
hidup anuku hidup biniku

tiga puluh dua tahun yang lalu
ada fatwa darah komunis halal tumpah

dua puluh tahun sejarah republik melangkah
dua kali kaum komunis dibikin tumbal
tuan katakan demi tuhan dan nabi-nabi

tiga puluh dua tahun yang lalu
warna jaket kuning
baret hijau dan merah
wajah-wajah maha hukum
wajah-wajah maha kuasa

5
adhuh yana adhuh yana
sesambat ki semar badranaya
dek nembanga sekar setan
gendruwo blorong thethekan
mamba-mimba imam mahdi

tani-tani desa
kuli-kuli kota
tanah dan ladang
bengkel dan pabrik
berdarah-darah

tanah ladang
bengkel pabrik
jadi kuburan
tanah air
jadi penjara

adhuh lae adhuh lae
disulap azimat supersemar
sang dasamuka mengejawantah
meredam benih gara-gara
dewi pertiwi bertaruh mati

garuda orba menyebar berita
klenteng cina klenteng cina
gudang cung! gudang cung!
rumah cina rumah cina
bakar bakar bakar!

garuda orba menyebar berita
pe-ka-I malam meracun sumur
mbah suro di gunung wilis
benteng penghabisan gestapu-sukarno
digempur habis balatentara langit **

ki badranaya sesambat
adhuh yana dan nembanga
tembang mutiara-mutiara mazmur
pesona cabar menghablur
rerepen sepi sendiri

6
lalu imperium orde baru tuan bangun
di atas lahan telaga darah dan luh
berlapis pondasi tap-tap mprs ala kkn
lalu tanpa syarat tanpa pamrih (heh-heh-heh!)
bersumpah pejah-gesang ndherek sang bapa

pembangunan hidup pembangunan
gampang sukrasana memutar taman gantung
lebih gampang $uharto pasang nyala pelita
konsesi diteken utang anak cucu ditambang
konsesi diteken hutan nenek moyang ditebang

hura hure hura hure
mumpung gedhe rembulane
mumpung gedhe komisine
dak gasak gasake dhewe

hore swasembada beras
membanting tulang
tulang siapa
kerja keras
bagian siapa

adhuh yana dak nembanga
tembange mas-ku-mambang
jakarta yatalah pangeran
payungan beton jalan layang
dalem gedhe para penggedhe

swasembada kondom: hore
dua anak cukup: hore
demi tinggal landas
demi tinggal landas
demi demikian

demi demikian
harus ada landasan
harus ada harus
ada yang dilindas
ada yang melindas

adhuh yana dak nembanga
tembange tembang megat-ruh
diredam maut santa cruz
demi sumpah palapa dua
gentayangan siluman ninja

7
adhuh lae adhuh lae
keroncong kincir kincir betawi
lagu talkin rejim sang raja...


catatan:
* kapitalis birokrat
** sebutan untuk rpkad (“kopassus” sekarang)

Puisi pamflet Hersri Setiawan ini merefleksikan banyak hal, terutama pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan algojo-algojo Soeharto, sejak berdirinya Rezim Orde Baru hingga pupusnya rezim tersebut. Selama para korban tragedi 1965 tidak mendapatkan haknya untuk dipulihkan nama baiknya, dan masih diperlakukan diskriminatif oleh negara, maka suara-suara yang dihimpun dalam sebuah teks semacam ini akan mengabadikan luka sejarah. Puisi semacam ini akan terus ditulis oleh para penyair selama ketidakadilan masih mengangkangi setiap manusia.

Citayam, 19 Desember 2009

Tidak ada komentar: