Senin, 09 Maret 2009
Wowok Hesti Prabowo: Kenapa Tak Mengajukan Saja ke Pengadilan?
Pemimpin Redaksi djoernal sastra Boemipoetra Wowok Hesti Prabowo mungkin bisa dikatakan termasuk golongan putih (Golput). Karena, rambutnya putih, kumisnya putih, jenggotnya pun putih. Begitu menerbitkan Boemipoetra, dunia sastra Indonesia mengalami gonjang-ganjing. Ada yang terkejut, ada yang merasa risih, ada yang merasa disudutkan, ada yang mencaci-maki, ada yang menuduhnya sebagai lembaran fitnah, dan berbagai-bagai perasaan lainnya. “Kalau ada yang merasa difitnah, kenapa tak mengajukan saja ke pengadilan? Negara kita kan negara hukum,” katanya. Toh, alhamdulillah, jurnal yang dikerjakan dengan cucuran keringat itu masih terbit sampai sekarang. Banyak yang penasaran ingin membaca jurnal itu. Mungkin banyak pula yang penasaran sama Pemimpin Redaksinya, yang Golput itu, yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Penyair Buruh Indonesia. Berikut ini wawancara Asep Sambodja dengan Wowok Hesti Prabowo yang dilakukan melalui email.
Bisa diceritakan sejarah berdirinya Boemipoetra (BP)?
Ketika saya diwawancarai Media Indonesia (baca BP edisi 1) saya katakan bahwa dalam waktu dekat akan terbit jurnal sastra perlawanan bernama BP. Maka saya dan beberapa kawan dalam gerakan sastra buruh merancang BP. Kami ajak Kusprihyanto yang dulu bersama saya memotori gerakan Angkatan Sastra 2000. Juga kami ajak Viddy AD. Nama Boemipoetra kumaksudkan sebagai identitas yang tegas atas perjuangan kami, yaitu menolak segala bentuk penjajahan (terutama penjajahan budaya) di Indonesia. BP lebih menegaskan tentang pentingnya menggali akar budaya nusantara daripada mengimpor pikiran-pikiran budaya barat! Pada edisi 1 belum muncul Saut Situmorang. Baru pada edisi 2 Saut yang sepakat dengan perjuangan BP bergabung bersama kami.
Apa sebenarnya misi BP?
Misi BP sudah jelas melawan segala bentuk imperialisme/penjajahan di Indonesia, terutama penjajahan budaya. BP mengajak agar kebudayaan Indonesia kembali ke akar budaya nusantara yang sangat kaya.
Dalam boks redaksi ada nama Koesprihanto Namma. Apa peran dia dalam jurnal tersebut? Koes adalah tokoh gerakan sastra pedalaman, apakah konsep SP itu mempengaruhi sikap BP?
Kusprihyanto Namma berperan aktif terhadap karya-karya sastra yang akan dimuat di BP. Juga peran jaringannya terhadap BP. Kusprihyanto boleh dikatakan mewakili sayap “sastra Islam”. Pada beberapa edisi, Kusprihyanto sempat ragu masuk dalam redaksi BP. Tapi aku menganggapnya karena itu sikap rendah hati dia saja. Kus itu kawan lama saya di gerakan sastra. Sewaktu dia di RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman), saya di sastra buruh. Bukankah saya, Kus, dan Sosiawan Leak dulu dalam disertasi peneliti bule dinobatkan sebagai tokoh gerakan sastra Indonesia? hahaha
Bagaimana pula dengan peran Saut Situmorang?
Lha Saut kian memperkuat BP. Jaringan Saut sangat luas. Ia di BP juga bertanggung jawab penjaga gawang esai. Ia juga maskot BP, hehehe. Ia, Kus, dan aku selalu berada di depan menghadapi lawan dalam Perang Sastra BP vs TUK.
Dalam beberapa edisi dan tulisan, BP banyak menyerang TUK. Kenapa?
BP selalu menyerang TUK (kini juga Salihara) dan antek-anteknya karena kami melihat TUK dan Salihara adalah pintu gerbang masuknya inperialisme budaya di Indonesia. Tempat itu markas budak penjajah.
Dalam pembelaannya, orang-orang TUK selalu meminta bukti-bukti dan argumentasi. Bisakah tuduhan-tuduhan itu diperkuat dengan bukti-bukti?
Orang-orang TUK selalu minta bukti-bukti? Itu lagu lama! Juga mereka biasa bilang BP itu jurnal fitnah. Tapi ketika kami tanyakan tulisan mana yang mereka anggap fitnah, mereka tak berkutik. Kami menjamin tulisan-tulisan di BP tak satu pun berupa fitnah! Lha kalau orang-orang TUK menganggap BP itu tulisan fitnah, kenapa tak mengajukan saja ke pengadilan? Bukankah Negara kita negara hukum? Maka, bila kemudian banyak orang sadar bahwa yang ditulis di BP adalah kebenaran, ya memang demikian adanya. Mereka juga minta argumentasi? Lha mereka sendiri juga gak bisa berargumentasi ketika merasa dituduh hehehehehe.
Kenapa pula Goenawan Mohamad (GM) diserang? Bukankah dia cukup berjasa bagi sastra Indonesia? Bagaimana Anda menanggapi pernyataan GM bahwa serangan BP itu seperti coretan di kakus?
Kenapa GM diserang? Karena dia penjaga gawang TUK dan Salihara. Dia ideolog kaum pecundang itu! GM berjasa dalam sastra Indonesia? Bohong besar! Dia hanya seolah-olah merasa berjasa, seperti dia mencitrakan dirinya seolah-olah demokratis padahal dia anti-demokrasi, seolah-olah dia pro-rakyat tapi sejatinya dia anti-rakyat, dan lebih senang memanipulasi rakyat. Ini serius, rakyat harus tahu. Sejarah sastra harus diluruskan! GM menganggap serangan BP seperti coretan di kakus? Itu kan jawaban dari seorang pecundang yang tak bisa mengelak karena borok-boroknya diungkap. Sungguh jawaban yang sangat tidak cerdas, kekanak-kanakan, dan kerdil! Bukankah karya-karya kelompoknya yang biasanya mengumbar kelamin itu yang layak masuk kakus? Coba perhatikan apa saja yang biasa ada di dalam kakus? Alat kelamin, penutupnya dan tinja yang dibuang ke kakus bukan? Itulah sejatinya karya-karya mereka. Beda dengan BP: sarat dengan pikiran cerdas, idealisme, perlawanan-perlawanan itu kan tempatnya di ruang tamu atau ruang rapat! Bukan kakus!
Kehidupan sastra Indonesia seperti apa yang Anda impikan?
Kehidupan sastra yang saya impikan adalah kehidupan sastra yang sehat dan dinamis yang mengakomodir secara jujur karya-karya sastrawan yang tersebar di penjuru nusantara. Bukan kehidupan sastra yang penuh manipulasi dan tipuan-tipuan seperti yang diperagakan gank GM.
Mengapa memilih nama BP? Apakah ada makna di balik nama BP itu? Mengapa pula penulisannya menggunakan ejaan lama? Adakah idealisme di balik penggunaan ejaan lama itu? Atau hanya sekadar nostalgia?
Saya pilih nama boemipoetra karena nama itu sangat Indonesia. Semangatnya juga semangat sangat Indonesia. Akar budaya Indonesia sangat kaya, mengapa kita tak mau bekerja keras menggalinya tapi malah sibuk mengimpor dari Barat? Bukankah itu kemalasan berpikir? Atau sengaja agar budaya Barat itu untuk merusak ke-Indonesia-an kita. Kalau harus memakai ejaan lama dan ejaan kecil karena yang lama tidak selalu buruk, yang modern tidak selalu baik. Biasanya kaum boemipoetra itu orang-orang kecil yang jujur sebagai representasi rakyat Indonesia, itulah sebabnya ejaan boemipoetra pakai huruf kecil.
Kenapa dalam artikel atau esai justru menggunakan ejaan baru? Bisa dijelaskan mengenai hal ini?
Pada tulisan/esai memakai ejaan baru supaya kau tak kesulitan membacanya, hehehehehehe
Banyak pembaca yang terkejut dengan diksi yang digunakan oleh penulis-penulis BP. Bahkan ada yang menyebutkan terlalu “kasar”. Bisa Anda jelaskan mengenai penggunaan diksi seperti itu?
Diksi BP terlalu kasar? Anda harus melihat BP secara utuh. Ikuti pula dari edisi ke edisi. Pada edisi pertama memang sangat kasar(?). Itu kan taktik perang saja. Dan strategi kami terbukti berhasil: begitu BP terbit ramailah kesusastraan kita. Bila ada yang mempermasalahkan beberapa tulisan porno maka tujuan BP pun tercapai. Bahwa sastra Indonesia yang selama ini dianggap baik itu ternyata hanya porno dan harus dipermasalahkan. Begitulah cara BP ‘menembak’. Di BP, sudah kami rancang sekian persen karya kreatif yang kuat, sekian persen esai yang kuat, sekian persen ideologi perjuangan yang kuat, dan sekian persen gossip/hiburan sastra yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga orang membaca BP akan menjadi ‘kaya’, sadar, cerdas, berenergi, dan gembira.
Cukup banyak penulis yang menggunakan nama samaran. Beranikah Anda menyebutkan siapa saja di balik nama-nama samaran itu? Kenapa masih ada yang menggunakan nama samaran. Apakah ini pertanda sifat pengecut pada penulis itu atau ada maksud di balik penggunaan nama samaran itu?
Nama samaran itu dijaga kerahasiaannya sesuai permintaan penulisnya semata-mata karena sikap rendah hati penulisnya.
Apakah benar perjuangan BP akan diteruskan sampai TUK hancur? Kalau TUK hancur, bukankah itu juga merugikan aset budaya kita?
Perjuangan BP akan diteruskan bukan hanya bila TUK hancur tapi sampai Indonesia merdeka semerdeka-merdekanya.
Bisakah BP menerima perbedaan pandangan politik? Sejauhmana toleransi yang diberikan BP dengan adanya perbedaan politik semacam itu? BP mengatakan TUK dibiayai kapitalis Amerika. Bisakah BP memberikan data-data yang kuat mengenai hal itu?
BP jelas sangat bisa menerima perbedaan pandangan politik. Aku di Tangerang menentang Perda pelacuran yang sangat diskriminatif sampai mengajukan yudisial review ke MA. Saut juga sangat menghargai pluralisme. Di jajaran redaksi BP sendiri sangat plural. Saut sangat bangga dengan Marxisnya, saya sangat nasionalis, dan Kusprihyanto sekarang sangat Islam. Kawan-kawan yang lain masuk dalam satu dari tiga ideologi itu. Bukankah itu miniatur bertoleransi? Dan bukankah sikap kami yang berbeda dengan TUK juga bentuk dari pluralisme? Bagi kami, TUK bukan asset budaya, melainkan perusak budaya. Mereka yang lebih dulu menghancurkan kebudayaan Indonesia secara sistematis, maka mereka wajar bila harus dihancurkan pula.
BP sendiri dibiayai siapa? Berapa eksemplar BP dicetak setiap edisinya?
BP terbit dari hasil patungan pengurusnya, infak/sumbangan pelanggan/pembaca BP seperti Anda. Dicetak seribu eksemplar setiap edisinya, dan kami distribusikan ke pelosok nusantara.
Sebenarnya masih sangat banyak yang ingin saya tanyakan. Namun, untuk sementara sampai di sini dulu dan nantinya bisa kita lanjutkan lagi. Sebab, bagaimanapun munculnya BP ini sangat penting. Hanya saja, masyarakat sastra Indonesia juga memerlukan informasi mengenai BP secara lengkap, agar BP tidak dipandang sebelah mata atau disalahpahami. Atas kebaikan Mas Wowok menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, saya mengucapkan banyak terima kasih. Semoga BP semakin maju dan berkembang.
Demikian, salam, Wowok Hesti Prabowo (Negarawan Sastra Indonesia)
Citayam, 9 Februari 2009
Asep Sambodja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
sudah aku baca salam kenal ya mas dari fitrah anugerah di facebook
gaya "ngomong" wowok ini kayak orang2 lekra dulu. penuh amarah, tendensius "mengganyang" lawan, penuh kesumat, dan menghasut. Kalo boemiputra isinya hanya seperti kata-kata sampah wowok dlm wawancara ini, sungguh tak menarik untuk dibaca!!!
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang
digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku
untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya
membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar
terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini
sudah terlampau sesat dan bejat.
Permasalahan, kondisi seperti ini akan dibiarkan sampai kapan??
Sistem pemerintahan jelas tidak berdaya mengatasi sistem peradilan seperti ini.
Lalu siapa yang mau perduli?
David
HP. (0274)9345675
Posting Komentar