Rabu, 10 Juni 2009

Kebijaksanaan Hidup adalah Ra ra ra: Pembacaan "Khotbah" Rendra dalam Tiga Perspektif



KHOTBAH
karya Rendra

Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
lalu berkata:
“Sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tak ada.”

Orang-orang tidak beranjak.
Mereka tetap duduk rapat berdesak.
Ada juga banyak yang berdiri.

Mereka kaku. Tak mau bergerak
Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
berhenti berdoa
tapi ingin benar mendengar.
Kemudian dengan serentak mereka mengesah
dan berbareng dengan suara aneh dari mulut mereka
tersebarlah bau keras
yang perlu dicegah dengan segera.

“Lihatlah aku masih muda.
Biarlah aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Ijinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
merenungkan keindahan Ilahi.”

Orang-orang kembali mengesah.
Tidak beranjak.
Wajah mereka nampak sengsara.
Mata mereka bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
sangat butuh mendengar.
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga.
Tuhanku, kenapa di saat ini kautinggalkan daku.
Sebagai sekelompok serigala yang malas dan lapar
mereka mengangakan mulut mereka.
Udara panas. Dan aku terkencing di celana.
Bapak. Bapak. Kenapa kautinggalkan daku.”

Orang-orang tidak beranjak.
Wajah mereka basah.
Rambut mereka basah.
Seluruh tubuh mereka basah.
Keringat berkucuran di lantai
kerna udara yang panas
dan kesengsaraan mereka yang tegang.
Baunya busuk luar biasa.
Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk juga.

“Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga.
Inilah khotbahku.
Ialah khotbahku yang pertama.
Hidup memang berat.
Gelap dan berat.
Kesengsaraan banyak jumlahnya.
Maka dalam hal ini
kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.
Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra.

Tengoklah kebijaksanaan kadal
makhluk Tuhan yang juga dicintai-Nya.
Meniaraplah ke bumi.
Kerna, lihatlah:
Sukamamu terjepit di antara batu-batu.
Hijau.
Lumutan.
Sebagai kadal ra-ra-ra.
sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”

Orang-orang serentak bersuara:
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja.
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.

“Kepada kaum lelaki yang suka senapan
yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
aku minta dicamkan
bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi
agar tak kaulihat siapa yang kaupijak.
Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.
Bersihkan darah dari tanganmu
agar aku tak gemetar
lali kita bisa duduk minum the
sambil ngomong tentang derita masyarakat
atau hakekat hidup dan mati.
Hidup penih sengsara dan dosa.
Hidup adalah tipu muslihat.
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Jadi marilah kita tembak matahari.
Kita bidik setepat-tepatnya.”

Dengan gembira orang-orang menyambut bersama:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Mereka berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai.
Berderap serentak dan seirama.
Suara mereka bersatu:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Hanyut dalam persatuan yang kuat
mereka berteriak bersama
persis dan seirama:

La-la-la, lil-li-li, la-li-lo-lu.

“Maka kini kita telah hidup kembali.
Darah terasa mengalir dengan derasnya.
Di kepala. Di leher. Di dada.
Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya.
Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar.
Darah itu bong-bong-bong.
Darah hidup bang-bing-bong.
Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong.
Hidup berama-ramai.
Darah bergaul dengan darah.
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”

Orang-orang meledakkan gairah hidupnya.
Mereka berdiri di atas bangku-bangku gereja.
Berderap-derap dengan kaki mereka.
Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela,
semua dipalu dan dibunyikan.
Dalam satu irama.
Diiringi sorak gembira:
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.

Cinta harus kita muliakan.
Cinta di belukar.
Cinta di took Arab.
Cinta di belakang halaman gereja.
Cinta itu persatuan dan tra-la-la.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
Sebagi rumputan
kita harus berkembang biak
dalam persatuan dan cinta.
Marilah kita melumatkan diri.
Marilah kita bernaung di bawah rumputan.
Sebagaimana pedoman kita:
“Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.’
Seluruh isi gereja gemuruh.
Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.
Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka.

Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki.
Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan tubuhnya.
Dan ada juga yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok gereja.
Dan dengan suara menggigil yang ganjil
mereka melengking dengan serempak.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.

“Melewati Nabi Musa yang keramat
Tuhan telah berkata:
Jangan engkau mencuri.
Pegawai kecil jangan mencuri tulang-tulang ayam goring.
Para pembesar jangan mencuri bensin.

Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya.
Artinya: Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Semua barang dari Tuhan.
Harus dibagi bersama.
Semua milik semua.
Semua untuk semua.
Kita harus bersatu. Kita untuk kita.
Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Inilah pedomannya.”

Sebagai binatang orang-orang bersorak:
Grrr-grrr-hura. Hura.
Cha-cha-cha, Cha-cha-cha.
Mereka copoti daun-daun jendela.
Mereka ambil semua isi gereja.
Candelabra-candelabra. Tirai-tirai. Permadani-permadani.
Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan permata.
Cha-cha-cha, begitu nyanyi mereka.
Cha-cha-cha, berulang-ulang diserukan.
Seluruh gereja rontok.
Cha-cha-cha.
Binatang-binantang yang basah berkeringat dan deras napasnya
Berlarian kian ke mari.
Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.
Lalu tiba-tiba terdengar lengking jerit perempuan tua:
“Aku lapar. Lapaar. Lapaaar.”
Tiba-tiba semua juga merasa lapar.
Mata mereka menyala.
Dan mereka tetap bersuara cha-cha-cha.
“Sebab sudah mulai lapar
marilah kita bubaran.
Ayo, bubar. Semua berhenti.”

Cha-cha-cha, kata mereka
dan mata mereka menyala.
“Kita bubar.
Upacara dan khotbah telah selesai.”

Cha-cha-cha, kata mereka.
Mereka tidak berhenti.
Mereka mendesak maju.
Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.

“Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”

Cha-cha-cha.
Mereka maju menggasak mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan.
Tak ada lagi yang sisa.
Fantastis.


Perspektif Rissa Yulia P.
Puisi yang berjudul “Khotbah” ini merupakan puisi yang bernuansa religius, tepatnya bernuansa Katholik. Hal ini dapat dilihat dari latar puisi, yakni gereja. Nuansa Katholik itu sendiri dapat diketahui dari status Rendra, yang pada saat menulis puisi ini adalah penganut agama Katholik. Dalam puisinya ini, Rendra menggambarkan sebuah huru-hara yang terjadi dalam suatu kebaktian di gereja. Huru-hara tersebut adalah kerusuhan yang ditimbulkan oleh jemaat yang mendadak berubah ganjil dan liar, seperti orang yang kesurupan. Mereka merusak gereja dan berubah menjadi gila dengan bernyanyi-nyanyi tidak keruan. Kekacauan ini berakhir dengan dibunuhnya seorang padri muda oleh para jemaat, dengan cara yang sadis. Rendra melukiskannya sebagai “pesta kanibal”, yakni berubahnya para jemaat menjadi manusia kanibal yang beramai-ramai memangsa padri muda, dari daging, darah, dan bahkan sumsum tulangnya.
Peristiwa itu sejatinya merupakan sebuah kiasan. Dalam puisi ini Rendra mencoba menyampaikan suatu keadaan dimana tidak terpenuhinya kebutuhan spiritual berupa pemahaman ilmu agama yang menjadi pedoman hidup dapat menimbulkan rasa tidak puas dan berontak. Dalam puisi ini, sang padri yang merupakan pemuka agama tidak berhasil memenuhi kebutuhan spiritual jemaat melalui khotbahnya, sehingga jemaat berontak. Pemberontakan ini digambarkan dengan berubahnya jemaat menjadi orang-orang yang liar dan tidak terkendali. Hal ini sesuai dengan hukum alam, yakni ketika seseorang tidak memahami ajaran agama dengan baik, dan bahkan merasa tidak puas terhadap ajaran agama itu, maka orang itu akan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Dengan kata lain, orang-orang itu tidak memiliki pedoman hidup, sehingga hidup mereka menjadi kacau. Kemudian peristiwa dibunuhnya sang padri, makna yang sesungguhnya adalah bahwa jemaat tak lagi mau mendengarkan sang padri. Dengan kata lain, mereka menganggap sang padri sudah mati dan khotbahnya tidak lebih dari sampah. Mereka tidak lagi memegang teguh ajaran Kristus seperti yang selalu diserukan sang padri dalam khotbah-khotbahnya.
Rendra menyampaikan maksud yang terkandung dalam puisi ini dengan menggunakan kata-kata yang memikat dan unik. Rendra bahkan menyisipkan kombinasi huruf yang apabila dibaca akan kedengaran seperti bunyi–bunyian yang mirip nyanyian, misalnya ra-ra-ra, hum-pa-pa, cha-cha-cha, tra-la-la, dan sebagainya, untuk menambah keindahan puisi. Rendra juga menggunakan kata-kata kiasan yang berapi-api untuk memperkuat makna puisi, seperti yang tercantum dalam cuplikan kalimat dari bait berikut ini:
Lalu tubuhnya dicincang.Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.Mereka minum darahnya.Mereka hisap sumsum tulangnya.
Kemudian untuk memperkuat nuansa religius yang dimuat dalam puisi, Rendra tidak lupa memasukkan beberapa kata seperti gereja, para anak Bapak di sorga, dan Kristus.
Di dalam puisi ini Rendra juga menggunakan majas metafora, seperti yang terdapat pada kata kebijaksanaan kadal. Kemudian terdapat majas personifikasi, yang dapat dilihat pada kalimat mata mereka menyala.
Menurut saya, puisi berjudul “Khotbah” ini merupakan salah satu puisi yang menarik. Daya tarik paling utama dari puisi adalah keindahan kata-katanya, yang dapat menyatukan kesan sadis dan konyol sekaligus. Rendra mencoba untuk menyampaikan puisinya dengan gaya bahasa yang unik, terkadang menyelipkan majas sarkasme, seperti dalam kalimat lalu tubuhnya dicincang. Kemudian kesan konyol dapat dilihat dari kata-kata seperti cinta di belukar, cinta di toko Arab dan cinta di belakang halaman gereja.Poin berikutnya yang tidak kalah menarik adalah keberanian Rendra menulis puisi yang mengangkat tema religius, namun berisi pemberontakan di dalamnya. Setelah membaca puisi ini dan mencoba memahami maknanya, saya menangkap kesan bahwa tingkah para jemaat mencerminkan keraguan terhadap ajaran Kristus. Dalam puisi ini diceritakan para jemaat sangat membutuhkan pemahaman mendalam terhadap keyakinannya, namun tidak terpenuhi. Akibatnya mereka lepas kendali dan memberontak, karena tidak memiliki pedoman hidup. Pemberontakan ini diakhiri dengan tidak dihiraukannya lagi apa yang diperintahkan oleh ajaran agama tersebut.
Mencermati kata demi kata ketika membaca puisi ini membuat saya berpikir bahwa puisi ini merupakan gambaran atas pergolakan batin Rendra sendiri terhadap Katholik. Seakan-akan Rendra mempertanyakan apakah keyakinannya ini benar-benar dapat dijadikan pedoman hidup atau tidak. Rendra menyelipkan kata pedoman dalam puisinya, seperti yang terdapat dalam bait berikut:
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga.Tuhanku, kenapa di saat ini kautinggalkan daku.Sebagai sekelompok serigala yang malas dan laparMereka mengangakan mulut mereka.Udara panas. Dan aku terkencing di celana. Bapak. Bapak. Kenapa kau tinggalkan daku.”
Bait ini terdengar seperti ungkapan keputusasaan sekaligus ketidakyakinan terhadap pedoman yang diberikan Tuhan kepada umat manusia.
Rendra seperti tidak percaya diri dengan ajaran agamanya, yang dituliskannya dalam wujud padri muda yang tidak mampu memberi pencerahan tentang ajaran agama kepada para jemaat. Kemudian bait-bait puisi yang menuliskan kerusuhan di gereja seperti menggambarkan pemberontakan seseorang yang hidupnya tidak memiliki arah dan pedoman. Secara keseluruhan, puisi ini seperti menunjukkan suatu pemberontakan yang terjadi karena ketidakpuasan akan apa yang diajarkan oleh ajaran Kristiani. Pada akhir puisi saya menangkap kesan bahwa akhirnya Rendra tidak puas terhadap apa yang diserukan ajaran Kristus, yang ditunjukkan dengan tidak dihiraukannya seruan sang padri akan penderitaan Kristus dan sang padri justru menjadi korban kegilaan jemaat. Membaca bagian ini terasa sangat ironis bagi saya.
Isi puisi yang cenderung memberontak terhadap ajaran Kristus tentunya tidak bisa dipisahkan dari sosok sang penyair itu sendiri, yakni Rendra. Puisi ini ditulis ketika Rendra masih berstatus sebagai pemeluk agama Katholik. Puisi ini mungkin merupakan bentuk pencarian Rendra akan jati dirinya. Berdasarkan biografi Rendra yang saya baca pada situs www.penyair.com , ketika Rendra memutuskan memeluk agama Islam pada tahun 1970, Rendra menyatakan bahwa sejak lama ia tertarik pada Islam. Rendra juga menyatakan bahwa alasannya memeluk agama Islam adalah karena Islam bisa menjawab pertanyaan pokok yang selama ini ada di benaknya, yakni kemerdekaan individual sepenuhnya. Ini dapat diartikan bahwa selama menjadi pemeluk agama Katholik, Rendra belum menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Rasa penasaran akan jawaban pertanyaan tersebut memicu Rendra untuk membuat puisi yang mengekspresikan perasaannya kala itu. Mungkin puisi “Khotbah” ini juga salah satu wujud pengekspresian perasaan Rendra yang tengah terombang-ambing tidak tentu arah atas keyakinannya pada saat itu.
Tokoh-tokoh yang dituliskan Rendra dalam puisi ini adalah seorang padri muda dan jemaat gereja, yang mencerminkan realita dalam kehidupan spiritual Katholik, yakni padri sebagai pemuka agama dan jemaat sebagai golongan yang harus dibina spiritualitasnya. Rendra memilih tokoh padri karena padri adalah orang yang jauh lebih mengerti tentang agama daripada jemaat kebanyakan. Kemudian isi puisi yang menunjukkan bahwa sang padri tidak dapat memenuhi tuntutan umat melalui khotbahnya, dapat diartikan bahwa dalam kehidupan spiritualnya sebagai pemeluk Katholik, Rendra tidak dapat menemukan pencerahan atas ajaran Katholik yang dikenalnya dengan perantara pendeta Katholik. Jemaat yang berubah liar merupakan bentuk ekspresi pemberontakan Rendra sendiri atas ganjalan di hatinya. Puisi “Khotbah” menunjukkan perasaan Rendra yang kontradiktif saat itu. Beberapa baitnya seolah-olah menunjukkan bahwa Rendra tengah mencari kebenaran tentang pedoman hidup.

Perspektif Rr. Sylvia Riadina Dewi
Pesan yang disampaikan Rendra dalam puisi ini menggambarkan cerita singkat Yesus, seseorang yang menjadi pedoman bagi banyak orang termasuk Rendra. Ia mengumpamakan sekaligus membandingkan Yesus sebagai padri. Namun, diluar dugaan ajaran-ajaran Yesus justru sudah tidak sejalan lagi dengan Kerajaan Allah. Rendra menggambarkan adanya kemunafikan orang-orang Katolik pada tahun 1971-an. Begitu banyaknya orang-orang yang berdosa dan masih saja mencoba menghakimi orang lain yang dianggap lebih berdosa dan juga adanya kebutuhan spiritualnya yang tidak terpenuhi. Hal ini yang membuatnya kembali merenungkan penderitaan Kristus. Ia juga teringat akan darah dan daging Kristus yang dipersembahkan untuk umat dalam rangka pengampunan dosa. Betapa menderitanya Yesus yang wafat demi manusia, tetapi manusianya sendiri tidak berada di jalan Kerajaan Allah ataupun mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah. Menurut Rendra, hal ini terjadi karena umat sudah berada di batas ketidaktahuan dan iman yang semuanya digantungkan kepada seseorang yang tidak bisa diharapkan (Pastor pada tahun 1970-an). Rendra seperti ingin menggambarkan bahwa apa yang terjadi dalam agama Katolik kini adalah akibat dari para tokoh agama yang tidak bisa memberi bimbingan yang tepat lagi.
Cara penyampaian pesan yang dilakukan W. S. Rendra dengan kecenderungan stilistik pengarang adalah perumpamaan kisah singkat seseorang. Dalam puisi ini pengarang menceritakan Yesus Kristus sebagai padri muda yang tidak mau memberi khotbah. Sekaligus membandingkan dengan padri yang memimpin misa saat tahun pembuatan puisi. Sampai Ia khawatir apabila mendengar banyaknya hukum-hukum yang simpang siur dan akhirnya memutuskan untuk memberi petunjuk yang sesuai dengan Kerajaan Allah.
Pengarang menggambarkan Yesus adalah seorang manusia biasa yang bisa ketakutan dan berkata, “Bapak. Bapak. Kenapa kautinggalkan daku.” (Eli, Eli, lama sabakhtani?). Yesus berkata kalimat tersebut saat Ia disalibkan di bukit Golgota. Setelah Yesus wafat banyak orang yang ingin menjadi murid-Nya.
Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga.Inilah khotbahku.Ialah khotbahku yang pertama.Hidup memang berat.Gelap dan berat.Kesengsaraan banyak jumlahnya. Maka dalam hal inikebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.Ra-ra-ra , hum-pa-pa , ra-ra-ra.Tengoklah kebijaksanaan kadalmakhluk Tuhan yang juga dicintai-Nya.Meniaraplah ke bumi.Kerna, lihatlah:Sukmamu terjepit di antara batu-batu.
Syarat pertama untuk menjadi murid-Nya adalah kaul kemiskinan sehingga harus mampu hidup tanpa uang dan tetap bijaksana. Pengarang menceritakan bahwa orang-orang mau mengikuti-Nya. Yesus juga mengajarkan orang-orang untuk introspeksi diri seperti dalam Alkitab terdapat perumpamaan “Perempuan yang Berzinah”, di mana orang-orang Farisi menghakimi seorang wanita berzinah. Namun Yesus mengatakan,”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Setelah itu, tidak satupun orang-orang Farisi maju untuk melemparkan batu.

Melalui perumpamaan ini, Yesus mengingatkan orang-orang untuk tidak menghakimi dosa orang lain jika dirinya sendiri berdosa. Yesus merasa banyak sekali kemunafikan yang terjadi. Hukum-hukum yang dibuat oleh suatu kaum dilanggar oleh kaum-kaumnya sendiri. Maka Yesus menghimbau agar bersama-sama dengan-Nya menuju jalan Kerajaan Allah. Pengarang menggambarkan begitu banyak orang yang mengikuti jalan-Nya bahkan sangat percaya pada-Nya. Orang-orang yang percaya itu disebut Gereja. Gereja saling berkumpul dan hidup bersama-sama menuju jalan Kerajaan Allah. Pada puisi Nyanyian Angsa, yang merupakan salah satu puisi pengarang juga, Rendra menceritakan Yesus mencintai semua umat-Nya. Tidak peduli siapa dia, apa pekerjaannya, bagaimana status sosialnya, Yesus tetap mencintai orang itu dengan sangat tulus.

Oleh karena itu, pengarang menceritakan Gereja juga menyebarkan cinta kasih kepada sesama. Seiring berjalannya waktu, sebagai anggota tubuh Kristus, Gereja mulai merasa mereka berlindung di bawah sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerti. Gereja sudah berada di batas ketidaktahuan dan iman. Kemudian Gereja meminta petunjuk lagi kepada Allah. Petunjuk yang diberikan lagi adalah Firman Allah yang ketujuh yaitu, ‘jangan mencuri’. Yesus tidak pernah melarang siapapun untuk tidak boleh melakukan sesuatu. Ia hanya memberitahu sifat-sifat manusia yang bisa diterima di Kerajaan Allah. Jika melanggar, maka harus bisa mempertanggungjawabkannya kelak. ‘Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya’.
Kemudian pengarang menggambarkan Yesus tidak dipercaya juga oleh banyak orang dan difitnah sehingga Yesus diadili, disiksa, disalibkan, dan wafat. Daging-Nya menjadi roti tidak beragi dan darah-Nya menjadi anggur yang disantap bersama demi pengampunan dosa dan disebut komuni.
Di sisi lain, Rendra menggambarkan betapa brutalnya orang-orang Katolik dalam menghakimi orang yang bersalah. Umat sudah tahu bahwa perbuatan yang tidak sesuai jalan Kerajaan Allah adalah perbuatan tercela, tetapi tanpa petunjuk yang jelas dari sang pedoman, umat justru melenceng dari jalan Kerajaan Allah. Pengarang melihat adanya kemunafikan di agama Katolik. Seperti dalam puisi Nyanyian Angsa. Pengarang menunjukkan adanya eksklusifitas dari pastor yang menghina seorang mantan pelacur yang ingin bertobat, tetapi di akhir cerita Yesus menerima wanita itu apa adanya.Tanggapan saya terhadap puisi ini menggambarkan tentang kelabilan diri pengarang dalam kehidupan spiritualnya. Terutama tentang agama Katolik yang menurutnya kini sudah tidak sejalan lagi dengan aturan-aturan yang ada.

Bahkan eksklusifitas yang diciptakan hierarki-hierarki, sepertinya membuatnya sangat muak. Namun, dalam puisi ini tergambar betapa Rendra masih menyayangi Yesus dengan renungan-renungannya. Termasuk dalam puisi Nyanyian Angsa, Rendra menggambarkan Yesus mencumbu Maria Zaitun, seorang mantan pelacur. Bahkan pastor pun tidak mau menerima pertobatan Maria Zaitun. Ia tidak kecewa dengan Yesus, tetapi ia kecewa dengan para Gereja yang kini terlihat lebih brutal dan tidak lagi mewartakan Kerajaan Allah. Maka renungannya membawa kenangan tentang Yesus disalibkan dan wafat. Belum lagi darah dan daging Yesus yang disantap setiap misa. Tetapi tetap saja gap-gap dari setiap lapisan dalam agama Katolik itu. Semua kejadian itu sepertinya membuat Rendra semakin bimbang menjalani hidup sebagai Katolik.
Willibrordus Surendra Broto lahir tanggal 7 November 1935 di Solo. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan Katolik yang kental. Ia sudah mulai menulis sajak sejak awal tahun lima puluhan dan juga giat dalam pertunjukan drama. Karya-karyanya tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Terbukti dari puisi-puisinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Dalam puisi ini, terasa sekali kebimbangan pengarang dalam melihat realita yang ada dan ajaran Yesus. Ia merasa saat itu terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan dalam agama Katolik. Rendra merasa dalam Katolik, jika mau berhubungan dengan Tuhan maka harus berhubungan dengan Pastor, tetapi dalam Islam bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga ia merasa hak individunya lebih dihargai, sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Belum lagi, saat pembuatan puisi Khotbah, Rendra tengah menghadapi pilihan untuk menikahi seorang wanita Islam, Sito, yang hampir tidak disetujui ayah Sito karena perbedaan agama.

Perspektif Gaya Nitiya Sutrisno
Dalam puisi ini Rendra menyampaikan pendapatnya tentang nilai-nilai religiusitas yang telah berubah. Orang-orang ke gereja bukan lagi untuk mendapatkan kekhusukan dan menciptakan hubungan vertikal ke atas dengan Tuhannya, tetapi hanya sekadar datang, berkumpul, mendengarkan Khotbah dan bernyanyi. Mereka tidak bisa memaknai lagi hubungan dengan Tuhannya. Mereka hanya menggantungkan dirinya kepada Khotbah yang mereka dengar dan menganggap itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan batin hidup mereka.
Mereka datang ke tempat ibadah karena merupakan suatu tuntutan sosial untuk menunjukkan bahwa mereka adalah umat yang taat beragama. Mereka lupa bahwa tempat ibadah itu hanyalah sebuah tempat, bukan suatu penghubung dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan seharusnya dibangun sendiri oleh mereka, tidak peduli di mana pun tempatnya.
Rendra menggambarkan keserakahan sekelompok manusia yang datang ke gereja. Sekelompok manusia ini adalah orang-orang pemalas dan haus akan Khotbah, digambarkan dengan metafor “Sebagai sekelompok serigala yang malas dan lapar”, “Mata mereka bertanya-tanya, Mulut mereka menganga sangat butuh mendengar”. Seolah-olah Khotbah mengenyangkan dan memberi mereka kehidupan. Serentak mereka diperalat dan terperdaya oleh Khotbah yang mereka anggap dan percaya dapat memberikan kebenaran.
Kemudian ada seorang padri muda yang masih polos, belum terpengaruh, dan terperdaya oleh Khotbah seperti orang-orang itu. Ia muak dengan orang-orang dan segala Khotbah yang dikumandangkan dalam gereja itu. Ia ingin menghentikannya. Ia mengumandangkan Khotbah pertamanya yang bertujuan untuk menyadarkan para manusia-manusia itu.
Dalam Khotbahnya “Kepada kaum lelaki yang suka senapan memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya, aku minta dicamkan bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu’, padri muda itu menyampaikan otoriterisme yang menutup mata sehingga yang terlihat hanya kebenaran semu yang menutupi keburukan. “Bersihkan darah dari tangan mu, agar aku tak gemetar lalu kita bisa duduk minum teh sambil ngomong tentang derita masyarakat atau hakekat hidup dan mati. Hidup penuh sengsara dan dosa”, menggambarkan padri yang ingin menyampaikan kepada orang-orang tersebut untuk menghilangkan sikap anarkis dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Padri menyampaikan bahwa kita bisa menyelesaikan permasalahan dengan baik-baik melalui jalan musyawarah.
Dalam “Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.”, digambarkan kegembiraan yang terjadi di dalam gereja bukanlah kegembiraan karena mereka akan bertemu dengan Tuhannya, tetapi karena mereka dapat bertemu dengan sesama, berkumpul, berfoya-foya, berpesta, dan terutama mendengarkan Khotbah.
Puisi ini menunjukkan ketika mereka datang ke gereja, mendengarkan Khotbah, dan berpesta serta berfoya-foya justru menghancurkan gereja itu sendiri. Perlu diingat bahwa gereja itu bukanlah suatu tempat untuk berkumpul dan berdoa, gereja itu sendiri adalah persekutuan umat yang percaya bahwa mereka telah diselamatkan. Kokoh atau hancurnya gereja itu sangat bergantung pada umatnya. Perilaku mereka yang malas dan beranggapan bahwa dengan mendengarkan Khotbah dapat mengenyangkan hidup mereka justru menghancurkan gereja yang telah mereka dirikan.
Rendra menggunakan pendekatan kontesktual dalam puisinya yang mengungkapkan kegelisahan politik yang ada dalam dirinya ini. Ia melihat keadaan yang terjadi di sekelilingnya, kemudian menuliskannya. Ia menghubungkan teks puisinya dengan dunia luar, yakni kondisi sosial masyarakat yang hidup di sekitarnya. Rendra dengan kritik postkolonialnya menyatakan perubahan yang dialami masyarakat modern. Puisi ini menunjukkan kekritisan Rendra. Ia tidak hanya melulu membenarkan bahwa orang yang ke gereja adalah orang yang taat beragama. Ia melihat bahwa gereja sekarang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang pemalas yang menginginkan eksistensi dirinya untuk bisa dilihat oleh orang lain.
Tanggapan saya setelah membaca puisi ini, saya menemukan pesan penting yang disampaikan oleh Rendra. Saya menyadari bahwa hubungan dengan Tuhan dibangun oleh saya sendiri dan bergantung kepada saya sendiri. Hubungan dengan Tuhan tidak dibangun dengan seringnya saya pergi ke tempat ibadah ataupun mendengarkan Khotbah. Tetapi dibangun dengan kekhusukan dan kesiapan hati saya untuk bertemu dengan Tuhan. Rendra menyampaikan kemunafikan masyarakat yang datang ke gereja dan menganggap dengan menerima Khotbah, hidup mereka sudah cukup dan bermakna. ***


Bibliografi

Budiman, Melani et al (ed). 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera
Rendra. 1987. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sambodja, Asep. Cara Mudah Menganalisis Puisi; Pembelajaran Puisi di Perguruan Tinggi: Sebuah Pengantar Singkat. (http://asepsambodja.blogspot.com)
www.wikipedia.org

*) Ketiga penulis adalah mahasiswa Jurusan Korea FIB UI.
**) Foto di atas merupakan pementasan dramatisasi “Khotbah” di Malaysia oleh Teater UI yang disutradarai Asep Sambodja.

Tidak ada komentar: