oleh Asep Sambodja
Kita patut merasa rugi ketika membaca buku sejarah sastra Indonesia yang selama ini beredar di masyarakat, karena belum ada satu buku pun yang memuat sejarah sastra Indonesia secara komprehensif. Memang harapan akan sebuah buku yang benar-benar komplit seperti sebuah utopia, tapi bagaimanapun upaya semacam itu harus dilakukan. Kalau kita membaca Horison Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh kelompok Horison—Taufiq Ismail dan kawan-kawan—maka tidak akan kita temukan, misalnya, sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun sastrawan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) seperti Sitor Situmorang. Padahal, ketiga nama itu layak dicatat dalam sejarah perpuisian Indonesia.
Apakah dengan demikian Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu patut disalahkan? Tentu saja tidak. Kita malah harus berterima kasih dengan karya yang telah dihasilkan Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu. Karena, bagaimanapun, penyusunan sebuah antologi karya sastra secara kronologis—sehingga sedikitnya ada pretensi kesejarahan—seperti itu tidak terlepas dari subyektivitas penyusunnya, baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Tapi, yang dilakukan Taufiq Ismail rupanya dilandasi dengan kesadaran penuh, karena ternyata nama Sitor Situmorang tidak hanya “hilang” di buku Horison Sastra Indonesia, melainkan juga tidak muncul dalam buku lain yang juga disuntingnya, Ketika Kata Ketika Warna.
Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kaum buruh dan tani semata, puisi Sitor Situmorang dan sastrawan-sastrawan Lekra seperti Sobron Aidit dan Agam Wispi bisa muncul. Buku Prahara Budaya membuktikan hal itu.
Saya sama sekali tidak menyalahkan Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto yang menyusun Prahara Budaya—yang sangat penting artinya sebagai bahan baku penulisan buku sejarah yang lebih obyektif—namun menyayangkan saja, kenapa ketika bicara yang “manis-manis”, seperti untuk buku Horison Sastra Indonesia dan Ketika Kata Ketika Warna nama Sitor Situmorang tidak dimunculkan, dan ketika bicara yang “pahit-pahit”, seperti untuk buku Prahara Budaya, nama Sitor Situmorang berikut karya-karyanya bisa muncul dalam porsi yang berlebihan? Dan, bahkan, secara politik bisa merugikan Sitor Situmorang, kalau kita kaitkan terbitnya buku itu dengan konteks zaman saat itu, saat rezim Soeharto ingin memberantas PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya.
Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi semacam itu? Memang, kita tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B. Jassin memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang fatwa-fatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada yang secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U. Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A Bibliography of Modern Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri “baru” menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66. Lalu, bagaimana sastra Indonesia periode 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah sastra Indonesia pasca-Orde Baru atau di era reformasi?
Ini menjadi tugas kita bersama, terutama pengajar sastra Indonesia di perguruan tinggi untuk bisa menampilkan “wajah” sastra Indonesia selengkap mungkin. Ini tidak hanya tugas pengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI) saja, tapi juga pengajar sastra Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia atau di mana pun. Apa yang dilakukan Yudiono K.S., pengajar sastra Indonesia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, yang menulis buku sejarah sastra Indonesia terbaru patut diapresiasi, karena di dalamnya sudah ada nama-nama sastrawan Indonesia yang baru, meskipun menurut saya masih ada kekurangannya. Misalnya, masih lenyapnya sastrawan Lekra dan sastrawan eksil. Khusus di bidang puisi, upaya yang dilakukan Harry Aveling melalui Rahasia Membutuhkan Kata, yang berisi puisi-puisi yang lahir di masa Orde Baru (1966-1998) pun patut dihargai, meskipun masih banyak juga penyair yang luput dari perhatiannya.
Kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah saja, tapi faktor politik cukup besar pengaruhnya. Ini, misalnya, bisa kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin melalui buku Tonggak (empat jilid). Tapi, niat mulia Linus Suryadi itu tak bisa terwujud, karena penyair atau sastrawan Lekra masih kena “segel merah” alias dilarang berekspresi dan bersuara melalui media apa pun, termasuk karya seni yang bernama puisi. Akibatnya, hanya 180 penyair yang berhasil dikumpulkan oleh Linus. Angka 180 itu pun merupakan angka kompromi antara Linus sebagai editor dengan Gramedia sebagai penerbitnya. Karena, bagaimanapun, penerbitan sebuah karya besar memerlukan dana yang besar pula. Yang patut disayangkan dari buku Tonggak ini adalah tidak adanya penyair-penyair seperti Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan Emha Ainun Nadjib. Tapi, ketiadaan nama-nama itu bukan karena kesalahan Linus Suryadi, melainkan karena keinginan para penyair itu sendiri. Sama halnya dengan tidak adanya nama Rendra dalam kumpulan puisi yang menandai 50 tahun Indonesia merdeka, Ketika Kata Ketika Warna. Tak adanya nama Rendra bukan karena kesalahan Taufiq Ismail, tapi karena ketidakmauan Rendra sendiri.
Jadi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, faktor penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan Lontar baru-baru ini menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup lengkap. Isinya adalah 60 naskah drama yang pernah terbit antara 1895-1995 (satu abad) pilihan Sapardi Djoko Damono.
Apa yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu merupakan kerja raksasa. Apalagi buku itu akan diikuti antologi cerpen, novel, puisi, dan esai (yang belum tersentuh oleh banyak ahli sastra). Meskipun ada kanonisasi dalam pembuatan “buku raksasa” seperti itu, karena banyak yang terpinggirkan, banyak yang tersingkirkan, tetap harus diapresiasi. Saya mensyukuri terbitnya Antologi Drama Indonesia, karena banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Namun, itu jangan dianggap bahwa naskah drama yang baik hanya yang seperti 60 naskah itu. Tentu saja masih banyak naskah drama yang harus dibukukan lagi.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan A. Teeuw, bahwa kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita bisa membaca “karya-karya puncak” yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-karya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit. ***
1 komentar:
halo halo... salam kenal dari tegal (igho)
Posting Komentar