Jumat, 17 Oktober 2008

Cinta dan Citra Manusia dalam Puisi




: Membaca Kumpulan Puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran karya Asep Sambodja

oleh Anas Prambudi

Puisi adalah karya seni yang puitis. Puitis dikonotasikan mengandung nilai yang khusus dan punya arti yang dalam. Dalam karya sastra, aspek puitis dapat disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan. Dalam menghadapi sebuah puisi, bukan hanya pada unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata indah. Akan tetapi, merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang meliputi ungkapan pikiran dan perasaan penyair serta bahasa yang digunakan. Penyair mempunyai maksud tertentu dibalik baris-baris dan bait-bait yang disusun sedemikian rupa. Begitu juga dengan maksud digunakannya kata-kata, lambang, kiasan, dan sebagainya (Pradopo, 1990: 13).
Usaha memahami puisi tidak dapat terikat pada salah satu pendekatan saja karena setiap puisi memiliki karakter tersendiri, baik karakter yang ditentukan oleh penyairnya, temanya, nadanya, maupun karakter yang diwarnai oleh kenyataan sejarah pada saat puisi itu diciptakan. Karakter puisi juga tidak lepas dari citra manusia. Citra manusia dan puisi adalah dua hal yang saling berkaitan. Citra manusia, dalam hal ini, memiliki pengertian kesan, bayangan, atau gambaran manusia. Sebagai suatu produk budaya, puisi tentu tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan. Analoginya, sebuah karya sastra, seperti puisi, selalu menghadirkan kehidupan manusia, karena pada dasarnya tiap karya sastra itu berisi obsesi sastrawan tentang kehidupan dan dalam kehidupan selalu hadir manusia (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994: 13-14).
Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 1990: 7). Wujud pengalaman manusia yang paling berkesan adalah hubungan antarpersonal. Hubungan antarpersonal memperlihatkan jalinan perasaan satu sama lain. Jalinan perasaan itulah yang kita kenal dengan sebutan cinta. Cinta senantiasa membuat manusia menjadi puitis. Oleh karena itu, puisi merefleksikan cinta, dan berarti pula menampilan citra manusia tertentu. Citra manusia itulah yang coba diungkapkan dalam telaah puisi bertemakan cinta.
Dalam telaah buku kumpulan puisi yang berjudul Kusampirkan Cintaku di Jemuran karya Asep Sambodja, Sang penyair merefleksikan tema cinta secara universal dalam setiap puisinya. Cinta kepada Tuhan, cinta kepada keluarga, cinta kepada kekasih, cinta kepada sahabat, dan cinta kepada bangsa dan negara adalah tema dalam puisi-puisinya. Sebagai penulis, saya memfokuskan telaah buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran berdasarkan hubungan antara cinta dan citra manusia yang dilanda asmara saja. Fokus tema tersebut saya pilih karena bagi saya tema cinta adalah tema yang universal untuk dibahas. Setiap manusia pernah jatuh cinta, dan cinta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pencitraan manusia. Jatuh cinta selalu membuat orang dapat mengekspresikan perasaannya dengan lebih jujur. Sehingga, citra manusia yang menjadi topik bahasan dalam telaah ini dapat dengan mudah dianalisa.

Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis
Salah satu puisi yang bertema cinta yang dilanda asmara dalam buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran ialah puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis”. Puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis” bercerita tentang seorang laki-laki yang rindu dengan kekasihnya. Si laki-laki, aku lirik, menggunakan ungkapan ‘gerimis’ sebagai media dalam mengirimkan rindunya. ‘Gerimis’ dalam hal ini bisa berarti cinta karena pilihan kata ‘gerimis’ menyiratkan tentang keadaan pilu.

kukirimkan rinduku lewat gerimis
yang menyirami pohon kelapa
di depan rumahmu –

Cinta tidak harus selalu merasa bahagia. Kadang-kadang cinta juga bisa membuat manusia sedih. Sedih karena perasaan aku lirik kacau balau, kemungkinan karena sebuah konflik yang belum terselesaikan. Keadaan pilu yang dirasakan oleh aku lirik, diperkuat dengan larik yang menyatakan ‘kalah dan menang’. ‘Kalah dan menang’ berarti memang terjadi konflik antara aku lirik dengan kekasihnya.

sesungguhnya siapa yang menang?
mestikah aku senang, jika kau datang
merindu?
mestikah kau senang, jika kuterduduk
merindu?

Aku lirik adalah sosok seorang manusia yang besar hati karena mencintai seseorang butuh kedewasaan dan rasa pengertian. Aku lirik menggambarkan citra manusia yang menghargai cinta berdasarkan rasa pengertian. Citra manusia yang mencintai pasangannya dengan tulus, yang rela berbesar hati demi tercipta langgengnya hubungan.

tak perlulah kita timpang
biarlah kau dan aku yang menang
biarlah kau dan aku meradang
biarlah cinta memenjarakan kita
kerna baru kutahu,
jika cinta memenjarakan kita,
kok rasanya bagaimana, gitu.

Cinta Itu
Puisi kedua dalam buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran adalah puisi berjudul “Cinta Itu”. Puisi ini bercerita tentang seorang laki-laki yang sangat mencintai seorang perempuan. Akan tetapi, cinta laki-laki ini, tokoh aku lirik, tertahan oleh ketidakmungkinan kondisi yang terjadi antara aku lirik dengan perempuan yang ia cintai. Ketidakmungkinan kondisi itu karena mereka berdua telah mempunyai kekasih. Cinta yang begitu besar, namun tidak bisa dipaksakan karena masing-masing ‘terkepung labirin’. Meskipun begitu, mereka berdua menikmati kenyataan itu.

langkahku tertunda padamu
aku terkepung bisu
angin dan angin senantiasa
yang mendekap
begitu dekat jarak
antara kau dan aku
tapi selalu saja lepas
setiap pandang
kita sama terkepung labirin
indah, memang indah, biarpun semu
bukankah kita nikmati keindahan itu
tanpa kata –
meski semu?

Hubungan antara aku lirik dengan perempuan yang ia cintai, tokoh kamu lirik, masih hanya sebatas teman karena dalam larik berikutnya terdapat kata ‘kesetiaan’. Hal ini mengartikan bahwa mereka berdua tidak selingkuh. Mereka masih setia dengan pasangan masing-masing.

kesetiaanku dan kesetiaanmu
sama-sama dipertaruhkan
dalam hidup yang gombal ini
meski begitu:
cintaku selangit padamu

Aku lirik sepertinya tidak berniat memperjuangkan rasa cintanya terhadap kamu lirik karena larik puisinya berhenti pada kalimat ‘cintaku selangit padamu’. Aku lirik lebih memilih memendam rasa cintanya di dalam hati. Citra manusia yang digambarkan aku lirik adalah manusia yang mengedepankan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri. Aku lirik memikirkan perasaan kekasihnya sehingga ia tidak mengedepankan egonya untuk meninggalkan kekasihnya demi kamu lirik. Meskipun begitu, perasaan cinta aku lirik kepada kamu lirik begitu besar.

Rayuan Seorang Laki-laki pada Seorang Perempuan dengan Kata-kata yang Mendayu-dayu
Puisi ketiga berjudul “Rayuan Seorang Laki-laki pada Seorang Perempuan dengan Kata-kata yang Mendayu-dayu”. Puisi ini berisi kata-kata rayuan untuk memikat hati seorang gadis. Rayuan ini diucapkan oleh aku lirik kepada seorang gadis dengan maksud ingin melamarnya. Dalam lariknya, puisi ini menjelaskan karakter aku lirik yang idealis. Aku lirik menggambarkan dirinya sebagai seorang manusia yang apa adanya. Ia tidak terlalu mementingkan kekayaan, pangkat, apalagi istri yang banyak. Ia cuma ingin mencintai gadisnya dan bisa menjalani kehidupan bersama dengan gadisnya.

oh, kasih
apalah aku ini
yang tak punya apa-apa
apalah kerjaku ini –
bagiku,
kerja bukanlah untuk mencari kebahagiaan
kerja adalah kebahagiaan itu sendiri
maka aku tak tergiur uang
tak tergiur jabatan
maka apakah aku ini
yang tak mau mengagungkan uang
tak mengagungkan perempuan
karena, bagiku,
cukuplah satu istri
yang kukasih
dan kumau kau
yang kukasih
sampai-sampai
padaNya

Sosok aku lirik menggambarkan citra manusia yang idealis dan tidak ambisius. Ia mencintai pekerjaannya, kehidupannya, dan gadis yang dicintainya dengan tulus. Ia tidak berharap sesuatu yang lebih. Ia adalah sosok manusia yang jarang sekali ditemui. Kebanyakan manusia gila jabatan, harta, dan wanita. Akan tetapi, pencitraan manusia yang digambarkan aku lirik berbeda. Aku lirik adalah citra manusia yang cinta idealisme.

Kusampirkan Cintaku di Jemuran
Puisi keempat berjudul “Kusampirkan Cintaku di Jemuran”. Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang putus asa. Putus asa untuk mencintai dan dicintai. Manusia ini, tokoh aku lirik, merasa tidak berguna dalam menjalin percintaan karena hubungan cintanya selalu kandas.

kusampirkan cintaku di jemuran
karena luka dan airmata
dan bila ada angin
kubiarkan terbang entah ke mana
karena cintaku usang dan berlubang

Aku lirik sepertinya mencintai seseorang, kamu lirik. Akan tetapi, cintanya tidak terbalas. Ia hanya bisa mencintai dari jauh. Ia merasa seperti seorang pecundang karena terdapat larik yang menyatakan ‘bila ada mentari/ makin jelas koyak cintaku/’. Hal ini menunjukkan aku lirik benar-benar merasa jatuh. Dari larik-larik yang terdapat dalam puisi, ia tidak menunjukkan semangat atau harapan.

bila ada mentari
makin jelas koyak cintaku
dan kubiarkan begitu
bila hujan tak pergi
berarti damai dan air mataku basah

bila kau kedinginan di malam gelap
kubiarkan cintaku kaudekap
hanya kehangatan yang kuberi
karena cintaku robek dan tak mengkilat

Dari puisi di atas, citra manusia yang digambarkan aku lirik ialah manusia yang putus asa terhadap cinta. Manusia yang gagal menjalani hubungan percintaan. Manusia yang menyerah dan tidak mau berusaha mengubah nasib cintanya. Citra manusia yang memilih untuk tidak mencintai ketimbang mencintai tetapi sakit hati.

Cinta yang terkandung dalam setiap puisi di dalam buku Kumpulan Puisi “Kusampirkan Cintaku di Jemuran” karya Asep Sambodja memiliki keterkaitan dengan perasaan seorang manusia. Seorang manusia yang mengungkapkan cinta secara tidak langsung manusia tersebut mengekspresikan aspek puitis dalam dirinya. Puisi sebagai unsur puitis sastra, mengekspresikan maksud yang sama dengan seseorang yang tengah dilanda cinta. Keharuan, kegembiraan, dan kebencian adalah hal yang dirasakan oleh seseorang yang tengah dilanda cinta. Puisi cinta yang berasal dari buku kumpulan puisi ini memiliki keterkaitan dengan hal itu. Dengan demikian, aspek puitis cinta dan citra manusia merupakan satu corak puisi yang sama.***

1 komentar:

Aryo Wasisto Moccachino mengatakan...

Saya telah memahami (barangkali separuh dari sajak dalam buku ini). Ada sesuatu yang begitu serius dalam masa lampau, namun juga ada yang berkesan main-main, keburu-buru, dan sekadar hinggap dan lalu. Menyindir, tanpa niat adalah model yang selalu Anda gunakan dalam sajak-sajak. Dalam kumpulan ini, puisi Anda tidak egois.
Selamat.


Beberapa saya kagum, dan beberapa saya tertegun