oleh Asep Sambodja
Dalam sebuah acara peluncuran buku China Moon di Hotel Alila, Jakarta Pusat, belum lama ini, pimpinan Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Rusdy Rukmarata mengatakan, sampai saat ini identitas keturunan Tionghoa di Indonesia masih belum jelas. Warga Tionghoa atau China masih dianggap sebagai bagian dari “mereka”, dan belum dianggap sebagai “kami” atau setidak-tidaknya “kita” sebagai warga Indonesia yang sah. Karenanya, masih menurut Rusdy, EKI atau setidak-tidaknya dirinya sendiri terus melakukan pencarian jatidiri, dengan perasaan marah yang menggumpal di dada. Sehingga, ketika ada unsur dari luar, katakanlah dari Barat, seperti gaya penyanyi Eminem yang masuk ke Indonesia dan dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, maka warga keturunan Tionghoa merasa terwakili dengan kehadiran “budaya” baru seperti itu.
Jauh sebelum itu, dalam diskusi bertajuk “Ada Apa dengan Cina?” di sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, muncul suatu pemikiran dari psikolog Universitas Indonesia, Myra Sidharta, bahwa sebenarnya yang terjadi dalam diri warga keturunan Tionghoa di Indonesia bukanlah pencarian identitas kelompok, melainkan pencarian identitas diri yang memang tidak akan pernah usai.
Terkait dengan kumpulan cerpen kedua yang diterbitkan EKI setelah Gallery of Kisses, yakni China Moon, Sujiwo Tejo sebagai editor sekaligus pemberi kata pengantar buku pink ini mengatakan, “Lho, bukankah siapa pun kalau diberi angin juga berpotensi menjelma ular culas?”
Pernyataan Tejo seperti itu pun langsung mendapat sanggahan dari Richard Oh, yang cerpennya berjudul "Mantau and The Invisible Kid" (masih asli dalam bahasa Inggris, dan belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana delapan cerpenis Indonesia lainnya yang menulis dalam bahasa Indonesia dalam China Moon, mungkin kelak bahasa Inggris akan menjadi bahasa nasional kedua di Indonesia? Siapa tahu, AS) juga terdapat dalam buku tersebut, mengatakan bahwa tidak selalu orang yang diberi angin akan menjadi ular culas.
Persoalannya bukan menjadi ular culas atau tidak, melainkan semuanya terpulang kembali pada pribadi masing-masing. Dan menegaskan adanya identitas kelompok di tengah-tengah lingkungan sosial bukanlah tanpa bahaya. Seorang preman yang membunuh seorang warga sipil di Sambas, Kalimantan Barat, bisa melebar menjadi perang antarsuku manakala masyarakat sekitar (bisa juga berkat ulah media massa dan politikus) mengaitkan preman dan warga sipil itu dengan latar belakang sukunya. Demikian pula kasus pembunuhan yang dilakukan seorang preman terhadap seorang sopir di Ambon, bisa menjelma perang antaragama manakala masyarakat sekitar (dan media massa serta politikus) mengait-ngaitkannya dengan latar belakang agamanya.
Berkaca pada kasus di atas, saya cenderung menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Myra Sidharta, bahwa kegelisahan kaum keturunan Tionghoa di Indonesia lebih didorong oleh pencarian identitas pribadi atau jatidiri. Jangan dikira orang Jawa atau suku-suku lainnya tidak memiliki kegelisahan yang sama, dalam wujud yang berbeda tentunya. Orang Jawa, misalnya, banyak yang merasa terwakili dengan sosok Werkudara atau Bima dalam cerita-cerita wayang, terutama dalam kisah Dewa Ruci.
Terkait dengan buku China Moon, yang menurut saya mutu sastranya tidak kalah dengan mutu sastra cerpen-cerpen yang muncul di majalah Horison, Prosa, Kalam, ataupun yang muncul di media cetak di Indonesia, bahkan yang kemudian dibukukan dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun sekian. Alasan yang paling sederhana adalah karena penulis-penulis cerpen dalam China Moon adalah cerpenis yang itu-itu juga, yang juga sering mengirimkan cerpen-cerpennya ke berbagai media cetak atau bahkan telah membukukan cerpen-cerpennya sendiri.
Nama-nama seperti Putu Wijaya, Yanusa Nugroho, Veven Sp. Wardhana, Sapardi Djoko Damono, Tommy F. Awuy, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Reda Linda Gaudiamo, dan Richard Oh sudah tidak asing dalam dunia “selebritis” sastra Indonesia. Dengan catatan, karya-karya ini mau tidak mau bisa diklaim sebagai karya pesanan, sesuai dengan permintaan penerbit EKI, sama halnya dengan karya-karya hasil seleksi suatu sayembara dengan topik tertentu. Bedanya, cerpen-cerpen dalam China Moon memang dipersiapkan untuk melengkapi atau berjalin-berkelindan dengan pertunjukan yang digarap EKI. Tentu saja hal ini sah-sah saja, sama sahnya dengan van Gogh yang mengiris kupingnya sebelum melukis potret diri. Sama sahnya pula dengan Picasso yang selalu mengatakan lukisan terbaik dari semua lukisannya adalah lukisan yang akan dibuatnya beberapa saat lagi.
Dalam cerpen Putu Wijaya, “Nio”, Indonesia yang digambarkan adalah sebuah monster yang sangat mengerikan, mungkin sama mengerikannya dengan Minotaurus bagi rakyat Kreta. Sama persis dengan Indonesia yang digambarkan Veven Sp. Wardhana dalam “Déjà vu: Kathmandu” (dalam Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001), di mana seorang wanita keturunan Tionghoa sama sekali tidak mau menyebutkan nama negara Indonesia, bahkan ingin melupakan nama itu dari ingatannya.
Ini memang sebuah paradoks, apa yang dilukiskan Putu Wijaya dalam cerpennya di atas benar-benar sangat mengiris dan membuat miris pembaca. Seorang perempuan keturunan yang bernama Nio meniti karir sebagai penari dari bawah, hingga menjalani pekerjaan yang sulit sebagai penari klab, dan mendapatkan kemewahan yang dulu menjadi idaman orangtuanya. Tapi, begitu kemewahan itu diperoleh, kerusuhan terjadi; harta kekayaannya dijarah, dan kehormatannya diperkosa. Karena itulah ia lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena dia Cina atau bermata sipit, “Tetapi karena aku orang Indonesia.”
Kata-kata terakhir Putu Wijaya dalam cerpennya tersebut demikian menghantam, menyisakan kepedihan yang dalam, yang juga diabadikan Taufiq Ismail dalam Malu Aku Jadi Orang Indonesia dan dalam beberapa cerpen Veven dan Seno Gumira Ajidarma. Indonesia sepertinya tidak memberikan kedamaian dan keamanan, apalagi kenyamanan bagi warganya. Dalam China Moon, saya memang tidak menemukan jawaban yang terang-benderang sebagaimana yang diharapkan Rusdy Rukmarata sejak awal. Dalam buku berwarna pink ini memang hanya berisi kisah, barangkali dibumbui sedikit gugatan, seperti dalam cerpen “Tidur Dengan Gong Li” karya Tommy F. Awuy (yang berperan sebagai ‘pejuang’ atau ‘pembela’ perempuan) dan “Payudara Nai Nai” Djenar Maesa Ayu (yang ‘fasih’ bicara persoalan kelamin).
Jawaban yang jelas justru saya dapatkan dalam buku Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia karangan Leo Suryadinata (Jakarta: LP3ES, November 2002). Bahwa “Cina bukanlah entitas yang homogen, melainkan majemuk, baik dalam soal ekonomi, kebudayaan, agama, dan pendidikan. Susahnya, selama ini Cina diidentikkan dengan konglomerat … (padahal) Cina yang konglomerat itu umumnya masih punya kebudayaan Cina yang kuat. Mereka umumnya bukan peranakan. … Jadi, dalam soal pribumi dan non-pribumi ini kita mesti arif. Tiap-tiap pihak harus lebih saling mengetahui dan berkenalan kembali. Dan dalam konteks ini peran negara menjadi sangat penting.” (hal. 258).
Sayang, EKI tidak menampilkan cerpenis atau sastrawan semacam Marga Tjoa atau Mira Widjaja dalam kumpulan cerpennya. Karena, bisa jadi suara hati atau jeritan batin yang jujur bisa terungkap dalam karya-karyanya, sebagaimana nilai-nilai sosial Jawa yang mencuat dalam karya-karya Umar Kayam yang menggunakan setting Jawa, yang menurut A. Teeuw, lebih mudah memahami sosiologi Jawa dari karya-karya Umar Kayam dibandingkan jika kita membaca seluruh buku-buku teori sosiologi Jawa yang ada.
Apa yang hendak dicapai dengan buku China Moon maupun pertunjukannya? Sekadar katarsis? Apakah sekadar menunjukkan kegelisahan-kegelisahan yang menggumpal di dada setiap warga keturunan Tionghoa, atau setidak-tidaknya kegelisahan seorang seniman Rusdy Rukmarata, atau ada keinginan untuk menimbulkan saling memahami dan mengerti di antara beribu-ribu bahkan berjuta-juta perbedaan yang terbentang di hadapan mata, yang melekat pada setiap manusia, sejak Qabil membunuh Habil untuk kali pertama di saat jauh dari cahaya maha cahaya?
Apakah identitas kelompok itu perlu?
Citayam, September 2003
1 komentar:
good blog by propertisurabaya99.blogspot.com
Posting Komentar