Jumat, 24 Oktober 2008

Merekonstruksi Sejarah Sastra Indonesia



oleh Asep Sambodja

Setiap kali membaca buku sejarah sastra Indonesia, baik tulisan A. Teeuw maupun Ajip Rosidi, terasa ada yang hilang, yakni sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan Raden Ngabehi Ronggowarsito. Belum lagi kita menyinggung pengarang besar Mpu Kanwa yang menulis dalam bahasa Kawi Arjunawiwaha pada zaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sanusi Pane pada 1948. Atau karya besar Mpu Prapanca yang dibuat pada zaman Majapahit, tepatnya tahun 1365 (abad ke-14), Nagarakrtagama, yang dinilai sangat penting karena menguraikan riwayat Singhasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama, yang menurut arkeolog Soekmono, ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Ada mata rantai yang terputus ketika para pengamat sastra Indonesia seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, dan Umar Junus membuat titik awal kelahiran sastra Indonesia. Tampak bahwa ketiganya menggunakan tolok ukur ‘kesadaran kebangsaan’ (istilah Ajip Rosidi) dan ‘bersifat nasional’ (istilah Umar Junus) yang merupakan kriteria di luar wilayah sastra untuk dijadikan acuan dimulainya sejarah sastra Indonesia. Mereka tidak mempertimbangkan dan bahkan cenderung menafikan embrio yang melahirkan sastra Indonesia.
Ketika sekarang bangsa Indonesia mengakui candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 di zaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasional Indonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakui dalam sejarah sastra Indonesia?
Dalam hal ini persoalan bahasa sebagai media sastra bisa menimbulkan perdebatan. Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Hamzah Fansuri, Teungku Chik Pantee Kulu, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Haji Hasan Mustapa, Raja Ali Haji, Nuruddin Alraniry, dan sejumlah pujangga lainnya masing-masing menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa ibunya. Apabila pengarang-pengarang yang berdomisili di dalam wilayah Indonesia itu telah meninggal bersama bahasa ibu yang mereka gunakan, maka seyogyanya kita tidak begitu saja menafikan hasil karya mereka sebagai bagian dalam khasanah sastra Indonesia. Sama halnya dengan pengarang modern yang menulis dengan menggunakan bahasa ibunya, seperti Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Sunda dalam Jante Arkidam (1967) dan beberapa karya terbarunya.

Sifat Nasional

Dalam tulisannya “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’” Umar Junus mengatakan, sastra ada setelah bahasa ada. Premis yang dimuat dalam Medan Ilmu Pengetahuan Juli 1960 itu bermakna sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada, yakni sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (lihat pula Sejarah Sastra Indonesia Abad XX E. Ulrich Kratz, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, yang mengawali sejarah pemikiran sastra Indonesia modern pada hasil putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928).
Umar Junus tidak memasukkan karya-karya sastra yang terbit sebelum Sumpah Pemuda seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sutan Iskandar, 1922), Muda Teruna (Muhammad Kasim, 1922), Tanah Air (Muhammad Yamin, 1922), Bebasari (Rustam Effendi, 1926), Pertemuan (Abas Dt. Pamoentjak, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), dan Puspa Mega (Sanusi Pane, 1927) ke dalam golongan hasil sastra Indonesia, melainkan hanya menganggapnya sebagai hasil sastra Melayu baru atau modern.
Alasan yang dikemukakan Umar Junus, karya-karya itu bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu. Melihat tolok ukur Umar Junus yang menetapkan awal kelahiran sastra Indonesia pada 1928 dan bersifat nasional, sedikitnya ada tiga titik kelemahan yang melekat padanya.
Pertama, Umar Junus menafikan unsur pengarang dan lebih menitikberatkan pada bahasanya. Padahal, tanpa pengarang, sastra tidak ada, dan pengarang bisa menggunakan bahasa apa saja dalam menghasilkan karya sastra, tidak harus dengan bahasa Indonesia.
Kedua, dengan menyebutkan sastra Indonesia bermula sejak 28 Oktober 1928, premis tersebut gugur dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Adinegoro, Muhammad Kasim, Nur Sutan Iskandar, Abas Dt. Pamoentjak, Merari Siregar, dan Marah Rusli telah menulis jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, serta tidak ada yang menyangsikan ataupun meragukan bahwa nama-nama tersebut merupakan sastrawan Indonesia tulen (lihat dua buku sederhana Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, Kompas, 2001, dan Bibliografi Sastra Indonesia, IndonesiaTera, 2001).
Belum lagi kalau kita bersikap jujur terhadap karya-karya sastra yang dihasilkan sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa, seperti Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roes dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Bintang Toedjoeh (1886) karya Tjhit Liap Seng, dan Siti Akbari (1884) karya Lie Kim Hok, yang menurut Monique Zaini-Lajoubert merupakan penjelmaan dari Syair Abdul Muluk (1847) karya Zaleha, adik Raja Ali Haji.
Contoh lainnya adalah Istri jang Dibeli (1922) dan Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng, penulis produktif pada zamannya. Ada pula Tjoema Boet Satoe (1927) karya Ong Ping Lok, Boekoe Tjerita Resianja Goela-goela (1912) karya Tan Boen Kim, Soepardi dan Soendari (1925) karya Tan Hong Boen, Nona Tjoe Joe (1922) karya Tio Ie Soei, Satoe Djodo Jang Terhalang (1917) dan The Loan Eng (1922) karya Tjoe Bou San, mantan Pemimpin Redaksi Sin Po.
Ketiga, “sifat nasional” dalam karya sastra yang sangat diagung-agungkan Umar Junus, yang kini menetap dan mengajar di Malaysia, justru menjadi bumerang yang dapat mengukung kebebasan berekspresi sastrawan. Karena sastrawan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan apa saja. Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Pramudya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iwan Simatupang, Yanusa Nugroho, atau Budi Darma dalam menghasilkan karya sastra tidak selalu dan tidak harus memaksakan diri untuk selalu “bersifat nasional”.
Apakah Olenka Budi Darma “bersifat nasional”? Bagaimana pula dengan Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag., Sri Sumarah dan Bawuk Umar Kayam, dan Godlob Danarto? Saya yakin sastrawan besar tidak akan mau, bahkan tidak sudi, terkungkung dengan atau oleh batasan apa pun, termasuk di dalamnya kungkungan berupa “sifat nasional” yang digagas Umar Junus dan “kesadaran kebangsaan” yang digagas Ajip Rosidi.
Ketika R. Ng. Ronggowarsito menulis sajak “Zaman Edan”, yang merupakan fragmen dari Serat Kalatida (terbit pada tahun 1820-an) yang membuatnya masyhur sampai sekarang adalah lebih karena berisi pikiran-pikiran falsafah tentang perkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata: “Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliran wekasanipun, dilalah kersaning Allah. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.” Bukan karena pretensi apa pun.
Karya ini sudah diterjemahkan oleh sedikitnya tiga orang, yakni Slamet Sukirnanto dalam Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Ahmad Norma dalam Zaman Edan (Bentang, 1998), dan Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1991). Adapun terjemahan versi Kamajaya adalah, “Mengalami zaman edan, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tak tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada.”

Kesadaran Kebangsaan

Konsep yang menyebutkan sastra Indonesia harus ‘bersifat nasional’ dan ‘berkesadaran kebangsaan’ telah membuat pemikiran kita mandek dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia.
Hampir senada dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964) menyatakan, sastra Indonesia lahir pada 1922. Tapi, menurut Ajip, bukan karena Azab dan Sengasara dan Siti Nurbaya lahir, melainkan karena pemuda-pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, dan Sanusi Pane mengumumkan sajak-sajak yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra.
Puisi-puisi lirik bertema cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah, kata Ajip Rosidi, tidak kita jumpai dalam khasanah sastra Melayu. Ajip Rosidi menetapkan tahun 1922 sebagai tahun kelahiran sastra Indonesia karena bertepatan dengan terbitnya kumpulan sajak Tanah Air karya Muhammad Yamin.
Ajip Rosidi menambahkan, Azab Sengsara dan Siti Nurbaya tidak sesuai dengan “sifat nasional” karena yang menerbitkan kedua buku tersebut adalah Balai Pustaka (saat itu) yang menjadi organ kolonial Belanda.
Meskipun Ajip Rosidi memajukan sedikit tahun kelahiran sastra Indonesia dari angka tahun yang disebutkan Umar Junus, alasan yang dijadikan tolok ukur kelahiran sastra Indonesia juga tidak kuat. Jika “kesadaran kebangsaan” dijadikan ukuran, bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak menghiraukan “kesadaran kebangsaan”, apakah tidak dianggap sebagai anak kandung sastra Indonesia?
Pada perkembangannya, memang ada yang setia pada tema kebangsaan sebagaimana yang diingini Ajip Rosidi, tapi lebih banyak yang mengangkat tema kemanusiaan, keterasingan individu, seperti dalam novel Iwan Simatupang, dan mengangkat masalah keagamaan, seperti yang terbaca dalam karya-karya Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, dan A. Mustofa Bisri, meskipun dalam beberapa karyanya ada juga yang mengangkat realitas bangsanya.
Lantas mengenai penafian Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara yang hanya gara-gara diterbitkan oleh penerbit organ kolonial Belanda, itu merupakan pandangan yang sempit (gegabah). Sebab, hampir semua karya sastra Indonesia ‘modern’ yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan (1945) diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang disebut Ajip Rosidi sebagai organ kolonial itu.
Selain menerbitkan kedua buku di atas, Balai Pustaka juga menerbitkan Salah Asuhan (Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Kasih Tak Terlerai (Suman Hasibuan), Dian yang Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Kalau Tak Untung (Selasih), Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), serta Andang Teruna (Sutomo Djuhar Arifin).
Rasanya sulit bagi Ajip Rosidi untuk tidak menerima karya sastra Indonesia yang diterbitkan oleh ‘organ kolonial’ itu dalam khasanah sastra Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, maka gugurlah konsep kelahiran sastra Indonesia yang dikemukakan Umar Junus dan Ajip Rosidi.

Inovatif

Kritikus sastra Indonesia A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980) mengatakan, sastra Indonesia lahir pada 1920. Kita tahu bahwa pada 1920 belum ada Sumpah Pemuda (1928) dan belum pula Indonesia diproklamasikan (1945). Dengan demikian, belum ada konsep tentang Indonesia, meski sudah dipolemikkan pada 1930-an oleh Sutan Takdir Alisjahbana di satu sisi dan Sanusi Pane di sisi lain.
A. Teeuw menyebutkan, pada ketika itulah (1920) para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional. Mereka mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua (lihat Sastra Baru Indonesia I, halaman 25). Benarkah demikian?
Jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Pasai al Sumatrani, telah menghasilkan karya sastra yang “menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional”. Pada 1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit di Aceh dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakan ajaran tasawuf aliran wujudiyah yang terkandung dalam karya Hamzah Fansuri sebagai ajaran atau aliran sesat.
Dalam buku yang sama, A. Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada 1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. “Dan karena dilarang di bidang politik (oleh kolonial Belanda), mereka mencoba mencari jalan keluar berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dan cita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka,” tulis Teeuw.
Dalam bukunya yang lain, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994: 44-73), terutama dalam tulisan bertajuk “Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia”, Teeuw mengakui adanya tiga corak pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.
Pertama, individualitas: puisi-puisinya tidak anonim. Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan syair. Ketiga, penggunaan bahasa yang sangat kreatif. Penemuan A. Teeuw tersebut melemahkan sekaligus meruntuhkan premisnya sendiri, yang menyebutkan sastra Indonesia lahir 1920 dan mengakui Hamzah Fansuri sebagai pemula (pelopor) puisi Indonesia.
Kepenyairan Hamzah Fansuri juga menarik penelitian lebih mendalam. Seorang penyair sufi asal Madura, Abdul Hadi W.M., dalam bukunya Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung, Mizan: 1995) mengungkapkan bahwa di bidang sastra, Hamzah Fansuri memelopori penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad 17-18 kebanyakan berada di bawah baying-bayang kejeniusan dan kepiawaian Hamzah Fansuri.
Abdul Hadi juga mengakui, Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Selain itu, Hamzah Fansuri dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang diasaskan dalam sastra Indonesia dan Melayu yang masih kelihatan sampai abad ke-20, khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Dari penjelasan singkat di atas, sudah waktunya dilakukan rekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Bukan hanya perlu, tapi menjadi satu kewajiban yang harus segera diwujudkan. Kriteria ‘bersifat nasional’ dan ‘kesadaran kebangsaan’ yang dibuat Umar Junus dan Ajip Rosidi, yang menggunakan tataran nilai di luar wilayah sastra, memiliki banyak kelemahan dan sama sekali tidak mencerahkan. Sebaliknya, mereka memasung pemikiran kita dengan pandangan yang membelenggu.
Kriteria yang digunakan A. Teeuw justru dapat diterima, karena menggunakan ukuran-ukuran yang lazim dalam dunia sastra, yakni bentuk-bentuk sastra yang berbeda dengan bentuk sastra yang sudah ada, serta adanya kebaruan dalam karya sastra yang diciptakan. Hanya saja, ketika Teeuw menjatuhkan vonis bahwa awal kelahiran sastra Indonesia pada 1920, kita jadi mempertanyakan dan meragukannya: benarkah demikian? Temuan-temuan Teeuw dan Abdul Hadi menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri (yang lahir jauh sebelum 1920) sangat layak disebut sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia.
Tapi, persoalan sejarah sastra Indonesia bukan persoalan siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri, tapi lebih diutamakan pada kejujuran para peneliti sastra Indonesia itu sendiri. Kenapa kita dengan mudah mengakui tari Saman, candi Borobudur, candi Prambanan, dan patung Asmat sebagai anasir sejarah kebudayaan Indonesia, sementara kita menutup mata pada Hang Tuah, Serat Centhini, La Galigo, Gatholoco, Babad Tanah Jawi, Nagarakrtagama, Arjunawiwaha, Serat Kalatida, Jaka Lodhang, Wulang Reh, Suluk Seh Siti Jenar, Suluk Seh Ngabdul Salam, Panitisastra, Babad Jaka Tingkir, Cemporet, dan sebagainya sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia?
La Galigo, misalnya, yang baru dikodifikasi dan dikumpulkan dari para penutur lisan di akhir abad ke-19, diyakini merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Tak kurang dari 300.000 stanza terdapat dalam buku tersebut. Bandingkan dengan Mahabarata yang panjangnya hanya 100.000 stanza saja. Karya itu begitu indah bila dibaca dalam tulisan aslinya yang berbahasa Bugis Kuno, dengan menggunakan aksara lontarak. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam dua jilid, masing-masing lebih dari seribu halaman.
Jika sejarah Indonesia mengakui bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh sembilan wali (walisongo), kenapa kita tidak jujur mengakui bahwa beberapa tahun kemudian muncul Suluk Seh Siti Jenar? Buku Suluk Seh Siti Jenar yang terbit pada abad ke-18 telah dilarang raja dan sudah dimusnahkan, karena dinilai mengandung ajaran sesat. Padahal, buku yang meng-counter hal itu pun sudah ada: Suluk Seh Ngabdul Salam. Pantaskah melihat sastra hanya dengan kacamata politik? Kenapa bangunan Borobudur bisa dilestarikan, sementara Arjunawiwaha tidak?
Apakah kita masih memegang teguh mitos “nenek moyangku seorang pelaut”? Kenapa kita menutup mata pada nenek moyang bangsa Indonesia yang bernama Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Mpu Kanwa, dan deretan panjang nama-nama pujangga besar yang sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda? Apakah kita tidak merasa ‘dirampok’, ketika kolonial Belanda memboyong berton-ton karya sastra Indonesia lama, cikal bakal sastra Indonesia modern?
Terlepas dari hal itu, kita wajib belajar dari sejarah sastra Prancis yang sudah berjalan berabad-abad, sejak abad pertengahan (Moyen Age, abad ke-11) hingga Alain Robbe-Grillet (abad ke-20). Pada abad pertengahan di Prancis itu penulisan sejarah sastra Prancis juga dimulai dengan kehidupan di sekitar raja-raja. Persis ketika sastra Indonesia masih bersifat istanasentris.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudah berabad-abad. Hanya saja, kita tidak pernah jujur dan tidak menghargai kerja nenek moyang kita yang berprofesi pujangga, bukan pelaut. Bangunan pemikiran para mpu atau katakanlah juru tulis kerajaan tampaknya tertutup kabut ketidakjujuran kita sendiri. ***

1 komentar:

Open Your Eyes mengatakan...

Wah, ini artikel yang bagus, pak asep..menambah pengetahuan saya di bidang sejarah sastra..

Selama ini saya membaca sastra secara terpotong-potong, dalam arti belum memahami sejarah sastra -khususnya sastra Indonesia- secara lebih sistematis dan jelas...

Mungkin pak Asep bisa memberi saya rekomendasi beberapa buku tentang sejarah sastra?

By Wahyu Awaludin
Sastra Indonesia UI 2008
Blog-blog milikku:

ini dan ini juga.