oleh Asep Sambodja
Arief Budiman (Soe Hok Djin) adalah seorang Manikebuis yang insyaf. Ketika masih berumur 22 tahun, ia bersama Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito dan beberapa seniman lainnya mengeluarkan pernyataan Manifes Kebudayaan yang berpaham humanisme universal pada 17 Agustus 1963 sebagai counter terhadap paham realisme sosialis yang diusung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun, pada 1984, ia menolak keuniversalan dalam sastra.
Dalam artikel “Sastra Kiri yang Kere” yang dimuat dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual yang dihimpun Ariel Heryanto (1985) dan dimuat kembali dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 karya Arief Budiman, tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu “sastra kiri” dan tidak ada penjelasan mengenai “kere”-nya sastra kiri. Sebagai pembaca, saya sangat tertarik dengan judul yang ditulis oleh Arief Budiman itu. Namun, ternyata, setelah membaca artikel tersebut, kita baru sadar bahwa yang ditulis Arief Budiman sangat tersirat, sehingga kita harus menafsirkan sendiri apa itu “sastra kiri yang kere” itu.
Saya katakan Arief Budiman insyaf karena setelah sastrawan-sastrawan Lekra dibungkam pasca peristiwa 30 September 1965, ia jarang atau bahkan tidak menemukan lagi karya sastra yang membumi, karya sastra yang berbicara tentang masalah sosial politik, sastra yang berbicara tentang rakyatnya sendiri. Arief Budiman merasakan karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan Manikebu sangat kebarat-baratan dan tidak membumi. Pada saat yang hampir bersamaan Emha Ainun Nadjib juga merasakan bahwa sastra Indonesia saat itu bungkam terhadap ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Karena itu, dalam sebuah sarasehan kesenian di Solo pada 1984, Arief Budiman menggebrak kebuntuan sastra Indonesia dengan konsep sastra kontekstual. Menurut Umar Kayam, istilah sastra kontekstual itu hanyalah retorika Arief Budiman saja. Memang, sejatinya, apa yang dilakukan oleh sastrawan-sastrawan Lekra sebelum Arief Budiman menelurkan istilah itu hakikatnya adalah karya sastra kontekstual juga. Karena, mereka menghasilkan karya sastra dengan terlebih dahulu menghayati kehidupan rakyat atau kehidupan bangsanya sehari-hari. Bahkan dalam konsep berkesenian Lekra, para sastrawan harus mengintegrasikan kehidupannya dengan kehidupan kaum buruh, tani, dan wong cilik lainnya.
Saya akan mengutip pernyataan Arief Budiman yang memperlihatkan “keinsyafannya” bahwa ternyata sastrawan-sastrawan Lekra yang berpaham realisme sosialislah yang karya-karya sastranya membumi—meskipun hal ini tidak tersurat dalam artikel “Sastra Kiri yang Kere” itu. Berikut kutipan selengkapnya:
“Saya menolak nilai universal dalam kesusastraan dan kesenian. Keindahan tidak sama dimana-mana, di sepanjang sejarah. Keindahan terikat pada ruang dan waktu. Untuk masyarakat Jawa, keindahan lain dengan masyarakat Minang. Untuk bangsa Indonesia, keindahan lain dengan bangsa Prancis. Untuk kelas menengah Indonesia, keindahan lain dengan kelas bawah Indonesia. Untuk kelas menengah Indonesia dulu, keindahan lain dengan kelas menengah Indonesia sekarang. Dan seterusnya.
Bagi saya, sastrawan-sastrawan yang mencipta dengan kiblat nilai universal, yang tidak mau mengakui bahwa keindahan bersifat kontekstual, pada kenyataannya menciptakan karya-karya untuk konsumsi kritisi sastra di Negara maju. Tanpa sadar, ukurannya adalah karya-karya sastra pemenang Hadiah Nobel. Tidak heran kalau mereka menjadi orang asing di negerinya sendiri. Akhirnya, mereka cuma dapat memaki-maki rakyat bangsanya sendiri yang dikatakannya kurang terdidik dan tidak dapat mengerti sastra yang bernilai.
Apa yang disebut sebagai keindahan merupakan ekspresi dari totalitas kehidupan. Bagi saya, pertama-tama, orang harus hidup secara penuh dulu. Karena hidupnya yang penuh ini, maka dia mau menyatakannya melalui alat komunikasi apa saja yang mungkin. Bagi saya, bentuk tak penting. Yang utama adalah dia mau menyatakan sesuatu yang berharga, yang berarti bagi hidupnya.
Bagi saya, hidup secara penuh dalam masyarakat Indonesia sekarang adalah terlibat dalam persoalan-persoalan besar bangsa ini. Karena salah satu persoalan besar bangsa ini adalah masalah kemiskinan dan ketidakadilan, maka sangat wajar bila pengarang besar Indonesia terlibat dalam persoalan ini, dan menyatakan dalam karya-karyanya.
Karena itu, kalau saya mengharapkan sastrawan Indonesia berbicara tentang ketimpangan sosial yang ada sekarang ini, pada dasarnya saya memintanya untuk menjadi manusia Indonesia yang terlibat dengan masalah-masalah besar bangsanya dulu, baru menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan hanyalah merupakan by product dari menjadi manusia yang utuh, bukan sebaliknya.”
(dikutip dengan sedikit perbaikan dari Perdebatan Sastra Kontekstual, halaman 91-92)
Dari kutipan panjang di atas, serta memperhatikan judul yang digunakan Arief Budiman, saya sama sekali tidak menemukan makna “kere”. Ternyata judul itu berasal dari gurauan saja. Sebab, sarasehan yang digelar di Solo itu dilakukan secara sederhana dan apa adanya, dan bukan merupakan sebuah seminar yang megah seperti yang digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya. Meskipun demikian, gemanya masih terngiang sampai sekarang.
Sementara “Sastra Kiri” yang tersirat dari artikel itu adalah apa yang menjadi topik persoalan dalam sarasehan itu pernah dilakukan oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang berpaham realisme sosialis; yang berpedoman politik sebagai panglima. Artinya, sastrawan-sastrawan Lekra harus mengerti politik dulu baru menulis karya sastra. Dan, untuk mengerti politik, sudah sewajarnya kalau mereka harus berpendidikan tinggi. Makanya, tidak heran kalau seorang sastrawan Lekra seperti D.N. Aidit dan Njoto (Iramani) yang menjadi pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu menulis puisi.
Citayam, 5 September 2009
Arief Budiman (Soe Hok Djin) adalah seorang Manikebuis yang insyaf. Ketika masih berumur 22 tahun, ia bersama Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito dan beberapa seniman lainnya mengeluarkan pernyataan Manifes Kebudayaan yang berpaham humanisme universal pada 17 Agustus 1963 sebagai counter terhadap paham realisme sosialis yang diusung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun, pada 1984, ia menolak keuniversalan dalam sastra.
Dalam artikel “Sastra Kiri yang Kere” yang dimuat dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual yang dihimpun Ariel Heryanto (1985) dan dimuat kembali dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 karya Arief Budiman, tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu “sastra kiri” dan tidak ada penjelasan mengenai “kere”-nya sastra kiri. Sebagai pembaca, saya sangat tertarik dengan judul yang ditulis oleh Arief Budiman itu. Namun, ternyata, setelah membaca artikel tersebut, kita baru sadar bahwa yang ditulis Arief Budiman sangat tersirat, sehingga kita harus menafsirkan sendiri apa itu “sastra kiri yang kere” itu.
Saya katakan Arief Budiman insyaf karena setelah sastrawan-sastrawan Lekra dibungkam pasca peristiwa 30 September 1965, ia jarang atau bahkan tidak menemukan lagi karya sastra yang membumi, karya sastra yang berbicara tentang masalah sosial politik, sastra yang berbicara tentang rakyatnya sendiri. Arief Budiman merasakan karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan Manikebu sangat kebarat-baratan dan tidak membumi. Pada saat yang hampir bersamaan Emha Ainun Nadjib juga merasakan bahwa sastra Indonesia saat itu bungkam terhadap ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Karena itu, dalam sebuah sarasehan kesenian di Solo pada 1984, Arief Budiman menggebrak kebuntuan sastra Indonesia dengan konsep sastra kontekstual. Menurut Umar Kayam, istilah sastra kontekstual itu hanyalah retorika Arief Budiman saja. Memang, sejatinya, apa yang dilakukan oleh sastrawan-sastrawan Lekra sebelum Arief Budiman menelurkan istilah itu hakikatnya adalah karya sastra kontekstual juga. Karena, mereka menghasilkan karya sastra dengan terlebih dahulu menghayati kehidupan rakyat atau kehidupan bangsanya sehari-hari. Bahkan dalam konsep berkesenian Lekra, para sastrawan harus mengintegrasikan kehidupannya dengan kehidupan kaum buruh, tani, dan wong cilik lainnya.
Saya akan mengutip pernyataan Arief Budiman yang memperlihatkan “keinsyafannya” bahwa ternyata sastrawan-sastrawan Lekra yang berpaham realisme sosialislah yang karya-karya sastranya membumi—meskipun hal ini tidak tersurat dalam artikel “Sastra Kiri yang Kere” itu. Berikut kutipan selengkapnya:
“Saya menolak nilai universal dalam kesusastraan dan kesenian. Keindahan tidak sama dimana-mana, di sepanjang sejarah. Keindahan terikat pada ruang dan waktu. Untuk masyarakat Jawa, keindahan lain dengan masyarakat Minang. Untuk bangsa Indonesia, keindahan lain dengan bangsa Prancis. Untuk kelas menengah Indonesia, keindahan lain dengan kelas bawah Indonesia. Untuk kelas menengah Indonesia dulu, keindahan lain dengan kelas menengah Indonesia sekarang. Dan seterusnya.
Bagi saya, sastrawan-sastrawan yang mencipta dengan kiblat nilai universal, yang tidak mau mengakui bahwa keindahan bersifat kontekstual, pada kenyataannya menciptakan karya-karya untuk konsumsi kritisi sastra di Negara maju. Tanpa sadar, ukurannya adalah karya-karya sastra pemenang Hadiah Nobel. Tidak heran kalau mereka menjadi orang asing di negerinya sendiri. Akhirnya, mereka cuma dapat memaki-maki rakyat bangsanya sendiri yang dikatakannya kurang terdidik dan tidak dapat mengerti sastra yang bernilai.
Apa yang disebut sebagai keindahan merupakan ekspresi dari totalitas kehidupan. Bagi saya, pertama-tama, orang harus hidup secara penuh dulu. Karena hidupnya yang penuh ini, maka dia mau menyatakannya melalui alat komunikasi apa saja yang mungkin. Bagi saya, bentuk tak penting. Yang utama adalah dia mau menyatakan sesuatu yang berharga, yang berarti bagi hidupnya.
Bagi saya, hidup secara penuh dalam masyarakat Indonesia sekarang adalah terlibat dalam persoalan-persoalan besar bangsa ini. Karena salah satu persoalan besar bangsa ini adalah masalah kemiskinan dan ketidakadilan, maka sangat wajar bila pengarang besar Indonesia terlibat dalam persoalan ini, dan menyatakan dalam karya-karyanya.
Karena itu, kalau saya mengharapkan sastrawan Indonesia berbicara tentang ketimpangan sosial yang ada sekarang ini, pada dasarnya saya memintanya untuk menjadi manusia Indonesia yang terlibat dengan masalah-masalah besar bangsanya dulu, baru menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan hanyalah merupakan by product dari menjadi manusia yang utuh, bukan sebaliknya.”
(dikutip dengan sedikit perbaikan dari Perdebatan Sastra Kontekstual, halaman 91-92)
Dari kutipan panjang di atas, serta memperhatikan judul yang digunakan Arief Budiman, saya sama sekali tidak menemukan makna “kere”. Ternyata judul itu berasal dari gurauan saja. Sebab, sarasehan yang digelar di Solo itu dilakukan secara sederhana dan apa adanya, dan bukan merupakan sebuah seminar yang megah seperti yang digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya. Meskipun demikian, gemanya masih terngiang sampai sekarang.
Sementara “Sastra Kiri” yang tersirat dari artikel itu adalah apa yang menjadi topik persoalan dalam sarasehan itu pernah dilakukan oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang berpaham realisme sosialis; yang berpedoman politik sebagai panglima. Artinya, sastrawan-sastrawan Lekra harus mengerti politik dulu baru menulis karya sastra. Dan, untuk mengerti politik, sudah sewajarnya kalau mereka harus berpendidikan tinggi. Makanya, tidak heran kalau seorang sastrawan Lekra seperti D.N. Aidit dan Njoto (Iramani) yang menjadi pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu menulis puisi.
Citayam, 5 September 2009
1 komentar:
bang Asep, saya perlu tulisannya untuk di mengajar di kelas kritik sastra, saya re-post di blog saya ya.
Oh ya ada tidak tulisan tentang pementasan teater indonesia bg?
salam kenal
eros
Posting Komentar