oleh Asep Sambodja
Ya, sampai kapan perseteruan Lekra-Manikebu kan berakhir? Di permukaan, seolah-olah ada rekonsiliasi Lekra dengan Manikebu di TUK beberapa waktu lalu, saat peluncuran buku J.J. Kusni. Lekra diwakili Kusni dan Manikebu diwakili Taufiq Ismail. Keduanya bersalam-salaman untuk menandakan adanya rekonsiliasi. Tapi, salaman itu hanyalah salaman yang artifisial belaka, dan terbukti sama sekali tidak bermakna apa-apa.
Sekarang, marilah kita buka buku-buku antologi sastra yang ada, yang masih bertengger di perpustakaan sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Bagaimanakah nasib sastrawan Lekra dan karyanya dalam buku-buku itu? Nasibnya seperti debu yang diterbangkan angin: hilang dari halaman ke halaman.
Apa yang dikatakan Ajip Rosidi sebagai editor Laut Biru Langit Biru (1977) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Demikianlah hukum bandul lonceng berlaku di sini: Setelah satu ekstrimitas yang menjurus kepada hanya mengakui realisme sosialis sebagai satu-satunya aliran kesenian, meloncat kepada ekstrimitas yang lain seakan-akan hanya mau mengenal dan menghargai karya-karya yang bersifat eksperimental saja. Karya-karya yang bersifat realisme, walaupun bukan sosialis, dianggap seakan-akan otomatis tidak atau kurang bermutu” (hlm. 6). Akibatnya, tidak ada sastrawan Lekra dalam buku antologi sastra itu.
Apa yang dikatakan Linus Suryadi Ag. sebagai editor Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Catatan khusus patut diberikan pada 4 nama [sic]: Hr. Bandaharo, S. Rukiah, Rivai Apin, Sobron Aidit, dan Agam Wispi. Meskipun puisi para penyair itu ditulis sebelum tahun 1965 dan dua nama pernah dimuat juga dalam antologi—S. Rukiah dalam Sepucuk Pinang Seserpih Sirih dan Rivai Apin dalam Tiga Menguak Takdir—sedang pada hemat editor Tonggak, juga mempunyai arti peran penting dan harus diperhitungkan oleh sejarah perkembangan puisi Indonesia, tapi sampai saat ini nama dan karya mereka masih terpalang “segel merah” (baca: dilarang, AS). Tidak bisa lain, kecuali “terpaksa” ditarik kembali dan diganti 4 nama [sic] beserta karya masing-masing” (hlm. Xl-xli). Akibatnya, tidak ada sastrawan Lekra dan karyanya dalam buku Tonggak.
Apa yang dikatakan Taufiq Ismail dan Hamid Jabbar sebagai editor Horison Sastra Indonesia (2002) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Roda pedati berputar, jentera sejarah berulang. Di zaman Orde Lama politik menjadi panglima dan tujuan menghalalkan cara, maka di masa Orde Baru ekonomi dan teknologi menjadi panglima dan pembangunan dijadikan semacam agama baru. Dalam masa Orde Lama buku dilarang, dalam kurun Orde Baru buku dilarang. Penderitanya sama juga, yaitu sastrawan yang pandangan politiknya berbeda dengan pemegang kekuasaan. Nama dan judulnya saja yang berbeda, tapi prinsipnya tetap sama. Di masa Orde Lama karya Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Usmar Ismail yang dilarang, di kurun Orde Baru karya Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, H.R. Bandaharo, Agam Wispi yang dilarang. Tentu perlu disebut pula puisi dan drama WS Rendra dan Nano Riantiarno yang mengalami pencekalan berulang kali di kurun itu, termasuk puisi Wiji Thukul, yang bahkan keberadaan penyairnya tidak kunjung berkejelasan. Sebagai bangsa, dalam hal ini dua kali kita kehilangan tongkat kita” (hlm. xxv-xxvi). Meskipun demikian, Horison Sastra Indonesia sepi dari sastrawan Lekra. Yang muncul namanya hanya Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer. Sudah. Padahal, sastrawan Lekra itu banyak jumlahnya.
Apa yang terbaca dari buku Antologi Drama Indonesia: 1895-2000 yang dieditori oleh Sapardi Djoko Damono sebagai ketua tim editor buku tersebut? Saya melihatnya Sapardi dan kawan-kawan lebih objektif dalam menampilkan naskah para penulis naskah drama Indonesia. Karena, dalam periode 1946-1968, saat revolusi masih menjadi primadona tema para sastrawan, muncul tiga nama sastrawan Lekra, yakni Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, dan Joebaar Ajoeb. Juga muncul nama Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Sitor Situmorang—yang juga menjadi lawan politik kaum Manikebu.
Saya menilai Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan berjasa dalam menyelamatkan karya-karya para sastrawan Lekra. Buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) dan Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) menjadi penting artinya ketika sejak zaman Orde Baru hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak memberi tempat pada karya sastra yang dihasilkan sastrawan Lekra untuk dikaji, dianalisis, bahkan untuk sekadar dibaca. Karena itulah, kehadiran dua buku ini, yang semuanya berisi sastrawan-sastrawan Lekra berikut karyanya dianggap sebagai penyelamat aset budaya yang telah lama dicampakkan. Persoalan-persoalan kebangsaan, kerakyatan, bahkan persoalan politik internasional banyak diangkat oleh sastrawan-sastrawan Lekra. Nama-nama yang “asing” seperti Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Bachtiar Siagian, Putu Oka Sukanta, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, T. Iskandar AS, HR Bandaharo, Agam Wispi, Boejoeng Saleh, Chalik Hamid, Dharmawati, F.L. Risakotta, Klara Akustia, S. Anantaguna, S. Rukiah Kertapati, Rivai Apin, Njoto, misalnya, hadir dalam kedua buku ini.
Sebagian sastrawan Lekra juga ada dalam buku Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965 karya Keith Foulcher (1986). Penyair Lekra yang dimunculkan adalah S. Anantaguna, Klara Akustia, HR. Bandaharo, Agam Wispi, Putu Oka Sukanta, dan Amarzan Ismail Hamid. Cerpenis Lekra yang dimunculkan adalah Mh. Isa, Sugiarti Siswadi, Made Serinata, Tann Sing Hwat, dan T. Iskandar AS.
Taufiq Ismail dan DS Moeljanto juga memuat karya 11 sastrawan Lekra seperti Sobron Aidit, T. Iskandar AS, Setiawan Hs, Hersat Sudijono, Dharmawati, Nusananta, Virga Belan, Agam Wispi, Armans, Mawie Ananta Jonie, dan Tohaga dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. Namun, pemuatan karya sastrawan Lekra itu sekadar untuk menunjukkan “ide dasar dan gaya penulisan kelompok Lekra”.
Dalam buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan yang dieditori oleh An. Ismanto (2009), ada sejumlah nama sastrawan yang dimunculkan, yang tidak terdapat dalam buku-buku pelajaran sastra di sekolah. Di antara sastrawan itu adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dr. Soetomo, Rivai Apin, RA Kosasih, Agam Wispi, Marga T., Teguh Esha, Bastian Tito, Asmaraman S. Kho Ping Ho, Icha Rahmanti, Muhidin M. Dahlan, dan Saut Situmorang. Artinya, karya sastra yang dipinggirkan selama ini, baik sastra populer, sastra komik, sastra cyber, maupun sastra realisme sosialis yang diusung Lekra, kini muncul bahkan dalam 100 buku pilihan—minimal buku itu bagus menurut An. Ismanto.
Lantas, bagaimana John H. Mc. Glynn (2002) sebagai ketua editor buku Indonesian Heritage membaca sastra Indonesia? Dalam buku yang berisi warisan budaya itu, bahasa dan sastra mendapat perhatian yang sangat serius. Khusus untuk masalah sastra, terutama pada masa revolusi dan sesudahnya, ada beberapa sastrawan yang dicatat memiliki karya besar yang bisa menjadi warisan atau pusaka bangsa Indonesia. Para sastrawan itu adalah Chairil Anwar dan Sitor Situmorang di bidang puisi, Idrus dan Pramoedya Ananta Toer di bidang prosa, dan Utuy Tatang Sontani di bidang drama. Artinya, sastrawan Lekra yang biasa mengangkat persoalan-persoalan bangsalah yang mendapat tempat di mata pengamat sastra dari luar negeri, semisal Harry Aveling, Henk M.J. Maier, dan William Frederick. Dari buku ini terbaca pula bahwa sesungguhnya sastrawan Lekra juga memberi kontribusi yang baik bagi perkembangan sastra Indonesia. Namun, anehnya, pemerintah masih menganggapnya sepi. Ini sungguh mengherankan.
Dari beberapa judul buku di atas, saya menarik kesimpulan bahwa kita masih memerlukan sebuah buku sejarah sastra yang komprehensif dan representatif. Dan untuk mewujudkan karya itu dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kebesaran hati untuk bisa menerima perbedaan.
Citayam, 15 September 2009
Hari Ulang Tahunku yang ke-42
Ya, sampai kapan perseteruan Lekra-Manikebu kan berakhir? Di permukaan, seolah-olah ada rekonsiliasi Lekra dengan Manikebu di TUK beberapa waktu lalu, saat peluncuran buku J.J. Kusni. Lekra diwakili Kusni dan Manikebu diwakili Taufiq Ismail. Keduanya bersalam-salaman untuk menandakan adanya rekonsiliasi. Tapi, salaman itu hanyalah salaman yang artifisial belaka, dan terbukti sama sekali tidak bermakna apa-apa.
Sekarang, marilah kita buka buku-buku antologi sastra yang ada, yang masih bertengger di perpustakaan sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Bagaimanakah nasib sastrawan Lekra dan karyanya dalam buku-buku itu? Nasibnya seperti debu yang diterbangkan angin: hilang dari halaman ke halaman.
Apa yang dikatakan Ajip Rosidi sebagai editor Laut Biru Langit Biru (1977) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Demikianlah hukum bandul lonceng berlaku di sini: Setelah satu ekstrimitas yang menjurus kepada hanya mengakui realisme sosialis sebagai satu-satunya aliran kesenian, meloncat kepada ekstrimitas yang lain seakan-akan hanya mau mengenal dan menghargai karya-karya yang bersifat eksperimental saja. Karya-karya yang bersifat realisme, walaupun bukan sosialis, dianggap seakan-akan otomatis tidak atau kurang bermutu” (hlm. 6). Akibatnya, tidak ada sastrawan Lekra dalam buku antologi sastra itu.
Apa yang dikatakan Linus Suryadi Ag. sebagai editor Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Catatan khusus patut diberikan pada 4 nama [sic]: Hr. Bandaharo, S. Rukiah, Rivai Apin, Sobron Aidit, dan Agam Wispi. Meskipun puisi para penyair itu ditulis sebelum tahun 1965 dan dua nama pernah dimuat juga dalam antologi—S. Rukiah dalam Sepucuk Pinang Seserpih Sirih dan Rivai Apin dalam Tiga Menguak Takdir—sedang pada hemat editor Tonggak, juga mempunyai arti peran penting dan harus diperhitungkan oleh sejarah perkembangan puisi Indonesia, tapi sampai saat ini nama dan karya mereka masih terpalang “segel merah” (baca: dilarang, AS). Tidak bisa lain, kecuali “terpaksa” ditarik kembali dan diganti 4 nama [sic] beserta karya masing-masing” (hlm. Xl-xli). Akibatnya, tidak ada sastrawan Lekra dan karyanya dalam buku Tonggak.
Apa yang dikatakan Taufiq Ismail dan Hamid Jabbar sebagai editor Horison Sastra Indonesia (2002) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Roda pedati berputar, jentera sejarah berulang. Di zaman Orde Lama politik menjadi panglima dan tujuan menghalalkan cara, maka di masa Orde Baru ekonomi dan teknologi menjadi panglima dan pembangunan dijadikan semacam agama baru. Dalam masa Orde Lama buku dilarang, dalam kurun Orde Baru buku dilarang. Penderitanya sama juga, yaitu sastrawan yang pandangan politiknya berbeda dengan pemegang kekuasaan. Nama dan judulnya saja yang berbeda, tapi prinsipnya tetap sama. Di masa Orde Lama karya Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Usmar Ismail yang dilarang, di kurun Orde Baru karya Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, H.R. Bandaharo, Agam Wispi yang dilarang. Tentu perlu disebut pula puisi dan drama WS Rendra dan Nano Riantiarno yang mengalami pencekalan berulang kali di kurun itu, termasuk puisi Wiji Thukul, yang bahkan keberadaan penyairnya tidak kunjung berkejelasan. Sebagai bangsa, dalam hal ini dua kali kita kehilangan tongkat kita” (hlm. xxv-xxvi). Meskipun demikian, Horison Sastra Indonesia sepi dari sastrawan Lekra. Yang muncul namanya hanya Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer. Sudah. Padahal, sastrawan Lekra itu banyak jumlahnya.
Apa yang terbaca dari buku Antologi Drama Indonesia: 1895-2000 yang dieditori oleh Sapardi Djoko Damono sebagai ketua tim editor buku tersebut? Saya melihatnya Sapardi dan kawan-kawan lebih objektif dalam menampilkan naskah para penulis naskah drama Indonesia. Karena, dalam periode 1946-1968, saat revolusi masih menjadi primadona tema para sastrawan, muncul tiga nama sastrawan Lekra, yakni Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, dan Joebaar Ajoeb. Juga muncul nama Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Sitor Situmorang—yang juga menjadi lawan politik kaum Manikebu.
Saya menilai Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan berjasa dalam menyelamatkan karya-karya para sastrawan Lekra. Buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) dan Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) menjadi penting artinya ketika sejak zaman Orde Baru hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak memberi tempat pada karya sastra yang dihasilkan sastrawan Lekra untuk dikaji, dianalisis, bahkan untuk sekadar dibaca. Karena itulah, kehadiran dua buku ini, yang semuanya berisi sastrawan-sastrawan Lekra berikut karyanya dianggap sebagai penyelamat aset budaya yang telah lama dicampakkan. Persoalan-persoalan kebangsaan, kerakyatan, bahkan persoalan politik internasional banyak diangkat oleh sastrawan-sastrawan Lekra. Nama-nama yang “asing” seperti Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Bachtiar Siagian, Putu Oka Sukanta, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, T. Iskandar AS, HR Bandaharo, Agam Wispi, Boejoeng Saleh, Chalik Hamid, Dharmawati, F.L. Risakotta, Klara Akustia, S. Anantaguna, S. Rukiah Kertapati, Rivai Apin, Njoto, misalnya, hadir dalam kedua buku ini.
Sebagian sastrawan Lekra juga ada dalam buku Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965 karya Keith Foulcher (1986). Penyair Lekra yang dimunculkan adalah S. Anantaguna, Klara Akustia, HR. Bandaharo, Agam Wispi, Putu Oka Sukanta, dan Amarzan Ismail Hamid. Cerpenis Lekra yang dimunculkan adalah Mh. Isa, Sugiarti Siswadi, Made Serinata, Tann Sing Hwat, dan T. Iskandar AS.
Taufiq Ismail dan DS Moeljanto juga memuat karya 11 sastrawan Lekra seperti Sobron Aidit, T. Iskandar AS, Setiawan Hs, Hersat Sudijono, Dharmawati, Nusananta, Virga Belan, Agam Wispi, Armans, Mawie Ananta Jonie, dan Tohaga dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. Namun, pemuatan karya sastrawan Lekra itu sekadar untuk menunjukkan “ide dasar dan gaya penulisan kelompok Lekra”.
Dalam buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan yang dieditori oleh An. Ismanto (2009), ada sejumlah nama sastrawan yang dimunculkan, yang tidak terdapat dalam buku-buku pelajaran sastra di sekolah. Di antara sastrawan itu adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dr. Soetomo, Rivai Apin, RA Kosasih, Agam Wispi, Marga T., Teguh Esha, Bastian Tito, Asmaraman S. Kho Ping Ho, Icha Rahmanti, Muhidin M. Dahlan, dan Saut Situmorang. Artinya, karya sastra yang dipinggirkan selama ini, baik sastra populer, sastra komik, sastra cyber, maupun sastra realisme sosialis yang diusung Lekra, kini muncul bahkan dalam 100 buku pilihan—minimal buku itu bagus menurut An. Ismanto.
Lantas, bagaimana John H. Mc. Glynn (2002) sebagai ketua editor buku Indonesian Heritage membaca sastra Indonesia? Dalam buku yang berisi warisan budaya itu, bahasa dan sastra mendapat perhatian yang sangat serius. Khusus untuk masalah sastra, terutama pada masa revolusi dan sesudahnya, ada beberapa sastrawan yang dicatat memiliki karya besar yang bisa menjadi warisan atau pusaka bangsa Indonesia. Para sastrawan itu adalah Chairil Anwar dan Sitor Situmorang di bidang puisi, Idrus dan Pramoedya Ananta Toer di bidang prosa, dan Utuy Tatang Sontani di bidang drama. Artinya, sastrawan Lekra yang biasa mengangkat persoalan-persoalan bangsalah yang mendapat tempat di mata pengamat sastra dari luar negeri, semisal Harry Aveling, Henk M.J. Maier, dan William Frederick. Dari buku ini terbaca pula bahwa sesungguhnya sastrawan Lekra juga memberi kontribusi yang baik bagi perkembangan sastra Indonesia. Namun, anehnya, pemerintah masih menganggapnya sepi. Ini sungguh mengherankan.
Dari beberapa judul buku di atas, saya menarik kesimpulan bahwa kita masih memerlukan sebuah buku sejarah sastra yang komprehensif dan representatif. Dan untuk mewujudkan karya itu dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kebesaran hati untuk bisa menerima perbedaan.
Citayam, 15 September 2009
Hari Ulang Tahunku yang ke-42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar