oleh Asep Sambodja
Seperti apakah cerpen-cerpen sastrawan Lekra? Saya mencoba membaca enam cerpen karya Sugiarti Siswadi yang pernah dimuat di Harian Rakjat dan dihimpun dalam buku Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008). Dari 61 cerpenis Lekra yang terdapat dalam buku itu, Sugiarti Siswadilah yang paling banyak menyumbangkan cerpennya.
Ada enam cerpen Sugiarti Siswadi dalam buku itu, yakni “Budak Kecil”, “Orang Kedua”, “Belajar”, “Luka Lama di Leher”, “Dongeng-dongeng di Waktu Malam”, dan “Pengadilan Tani”. Dari keenam cerpen tersebut, semuanya menggunakan pencerita diaan. Artinya, pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.
Sugiarti Siswadi seolah-olah memposisikan dirinya sebagai dalang, namun tidak seperti dalang wayang kulit yang bisa membedakan suara satu tokoh dengan tokoh lainnya, tokoh-tokoh dalam cerpen Sugiarti Siswadi nyaris sama “suaranya”. Saya melihat dalam menuturkan cerita, Sugiarti lebih mirip sebagai seorang pendongeng, dan pembaca benar-benar seperti pendengar yang khusyuk mendengarkan dongeng tersebut.
Bahasa yang digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, kalau saya kaitkan dengan konteks tahun 1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan Sugiarti cenderung menggunakan kata-kata yang santun. Karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks. Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.
Dalam cerpen “Budak Kecil”, misalnya, Sugiarti hendak bercerita tentang seorang majikan yang mencari pembantu rumah tangga. Tapi, begitu yang dating adalah seorang ibu yang mempekerjakan anak sulungnya yang baru berusia 12 tahun, di situlah muncul konflik batin. Apakah menerima anak sekecil itu untuk menjadi pembantu rumah tangga atau tidak. Namun, konflik batin itu kurang digarap dan penyelesaiannya pun sederhana dengan menerima anak itu sebagai pembantu. Dalam cerpen ini pula Sugiarti memperlihatkan seorang majikan yang berperikemanusiaan, karena memberi tugas yang tidak terlalu berat kepada anak seusia 12 tahun.
Dalam cerpen “Orang Kedua” watak tokohnya hampir sama. Ini yang saya katakan Sugiarti sebagai pengarang serba tahu masuk ke semua tokoh itu dengan pikiran yang sama. Dalam arti watak tokoh-tokohnya kurang digarap sehingga semua tokohnya tampak seragam, yang membedakan hanya nama-nama tokohnya saja. Dalam cerpen ini juga tidak ada konflik yang membangun cerita, sehingga terasa datar begitu saja. Yang ingin ditonjolkan Sugiarti dalam cerpen ini adalah semangat kerja untuk kepentingan rakyat.
Cerpen “Belajar” tidak terlalu menarik. Cerpen ini berisi tentang seorang anak yang bertanya mengenai Sputnik kepada ayahnya yang buta huruf. Tentu saja ayahnya tidak bisa menjawab, lalu ayahnya bertanya kepada tetangganya yang berlangganan koran, Mas Mitro, yang menjelaskan dengan detil. Lalu, ayahnya memuji Uni Soviet yang telah berhasil meluncurkan Sputnik ke luar angkasa dan menyindir Amerika yang waktu itu belum meluncurkan pesawat ruang angkasa.
Tema cerpen “Luka Lama di Leher” adalah tentang kerja yang bisa membuat seseorang menjadi sehat. Pak Djojo digambarkan mengalami sakit di lehernya akibat siksaan kempeitai Jepang. Dari lehernya sering mengalir air kuning. Dan kalau sudah seperti itu, ia sering marah-marah. Dokter tidak bisa menyembuhkan penyakit itu. Kalau disuruh istirahat oleh istrinya, dia malah merasa tersiksa. Ternyata, obat mujarabnya adalah bekerja. Dengan bekerja sebagai fungsionaris Serikat Buruh Perkebunan di sebuah pegunungan, Pak Djojo justru merasa tenang dan nyaman.
Cerpen “Dongeng-dongeng di Waktu Malam” berisi sindiran pada tokoh agama. Pak Karto mendongeng tentang Kyai Sumowono yang bertemu dan bertekuk lutut di hadapan Nyai Loro Kidul. Kyai Sumowono menurut saja ketika Nyai Loro Kidul melarangnya membunuh tikus. Setelah Pak Karto mendongeng, giliran Darmo yang mengomentari bahwa ia juga bertemu dengan Nyai Loro Kidul. Tapi, bukan ia yang bertekuk lutut, melainkan Nyai Loro Kidullah yang bertekuk lutut. Dan ia mengatakan bahwa ia memilih membunuh tikus yang merusak sawahnya daripada nantinya anaknya mengalami kelaparan kalau sawahnya rusak.
Barangkali cerpen “Pengadilan Tani” yang paling menarik di antara keenam cerpen tersebut. Dalam cerpen ini Sugiarti menceritakan tentang seorang tuan tanah, Sanusi, yang juga lintah darat atau rentenir yang mengadukan 130 petani yang merampas padinya. Ketika disidang, ternyata terbongkar keburukan-keburukan Sanusi, antara lain dengan memalsukan surat kepemilikan tanah dan menghisap rakyat dengan bunga-bunga hutang. Akhirnya, hakim membebaskan 130 petani itu dan menjadikan Sanusi sebagai terdakwa. Di sini tampak jelas sikap dan keberpihakan Sugiarti kepada orang-orang yang tertindas.
Saya sangat yakin cerpen “Pengadilan Tani” yang dimuat di Harian Rakjat ini memiliki greget yang sangat kuat pada konteks zamannya, karena sangat sesuai dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat mementingkan nasib petani penggarap. Orang dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat ditampilkan sebagai tokoh yang memberi kesadaran kepada petani penggarap untuk bangkit melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh tuan tanah Sanusi.
Citayam, 6 September 2009
Seperti apakah cerpen-cerpen sastrawan Lekra? Saya mencoba membaca enam cerpen karya Sugiarti Siswadi yang pernah dimuat di Harian Rakjat dan dihimpun dalam buku Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008). Dari 61 cerpenis Lekra yang terdapat dalam buku itu, Sugiarti Siswadilah yang paling banyak menyumbangkan cerpennya.
Ada enam cerpen Sugiarti Siswadi dalam buku itu, yakni “Budak Kecil”, “Orang Kedua”, “Belajar”, “Luka Lama di Leher”, “Dongeng-dongeng di Waktu Malam”, dan “Pengadilan Tani”. Dari keenam cerpen tersebut, semuanya menggunakan pencerita diaan. Artinya, pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.
Sugiarti Siswadi seolah-olah memposisikan dirinya sebagai dalang, namun tidak seperti dalang wayang kulit yang bisa membedakan suara satu tokoh dengan tokoh lainnya, tokoh-tokoh dalam cerpen Sugiarti Siswadi nyaris sama “suaranya”. Saya melihat dalam menuturkan cerita, Sugiarti lebih mirip sebagai seorang pendongeng, dan pembaca benar-benar seperti pendengar yang khusyuk mendengarkan dongeng tersebut.
Bahasa yang digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, kalau saya kaitkan dengan konteks tahun 1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan Sugiarti cenderung menggunakan kata-kata yang santun. Karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks. Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.
Dalam cerpen “Budak Kecil”, misalnya, Sugiarti hendak bercerita tentang seorang majikan yang mencari pembantu rumah tangga. Tapi, begitu yang dating adalah seorang ibu yang mempekerjakan anak sulungnya yang baru berusia 12 tahun, di situlah muncul konflik batin. Apakah menerima anak sekecil itu untuk menjadi pembantu rumah tangga atau tidak. Namun, konflik batin itu kurang digarap dan penyelesaiannya pun sederhana dengan menerima anak itu sebagai pembantu. Dalam cerpen ini pula Sugiarti memperlihatkan seorang majikan yang berperikemanusiaan, karena memberi tugas yang tidak terlalu berat kepada anak seusia 12 tahun.
Dalam cerpen “Orang Kedua” watak tokohnya hampir sama. Ini yang saya katakan Sugiarti sebagai pengarang serba tahu masuk ke semua tokoh itu dengan pikiran yang sama. Dalam arti watak tokoh-tokohnya kurang digarap sehingga semua tokohnya tampak seragam, yang membedakan hanya nama-nama tokohnya saja. Dalam cerpen ini juga tidak ada konflik yang membangun cerita, sehingga terasa datar begitu saja. Yang ingin ditonjolkan Sugiarti dalam cerpen ini adalah semangat kerja untuk kepentingan rakyat.
Cerpen “Belajar” tidak terlalu menarik. Cerpen ini berisi tentang seorang anak yang bertanya mengenai Sputnik kepada ayahnya yang buta huruf. Tentu saja ayahnya tidak bisa menjawab, lalu ayahnya bertanya kepada tetangganya yang berlangganan koran, Mas Mitro, yang menjelaskan dengan detil. Lalu, ayahnya memuji Uni Soviet yang telah berhasil meluncurkan Sputnik ke luar angkasa dan menyindir Amerika yang waktu itu belum meluncurkan pesawat ruang angkasa.
Tema cerpen “Luka Lama di Leher” adalah tentang kerja yang bisa membuat seseorang menjadi sehat. Pak Djojo digambarkan mengalami sakit di lehernya akibat siksaan kempeitai Jepang. Dari lehernya sering mengalir air kuning. Dan kalau sudah seperti itu, ia sering marah-marah. Dokter tidak bisa menyembuhkan penyakit itu. Kalau disuruh istirahat oleh istrinya, dia malah merasa tersiksa. Ternyata, obat mujarabnya adalah bekerja. Dengan bekerja sebagai fungsionaris Serikat Buruh Perkebunan di sebuah pegunungan, Pak Djojo justru merasa tenang dan nyaman.
Cerpen “Dongeng-dongeng di Waktu Malam” berisi sindiran pada tokoh agama. Pak Karto mendongeng tentang Kyai Sumowono yang bertemu dan bertekuk lutut di hadapan Nyai Loro Kidul. Kyai Sumowono menurut saja ketika Nyai Loro Kidul melarangnya membunuh tikus. Setelah Pak Karto mendongeng, giliran Darmo yang mengomentari bahwa ia juga bertemu dengan Nyai Loro Kidul. Tapi, bukan ia yang bertekuk lutut, melainkan Nyai Loro Kidullah yang bertekuk lutut. Dan ia mengatakan bahwa ia memilih membunuh tikus yang merusak sawahnya daripada nantinya anaknya mengalami kelaparan kalau sawahnya rusak.
Barangkali cerpen “Pengadilan Tani” yang paling menarik di antara keenam cerpen tersebut. Dalam cerpen ini Sugiarti menceritakan tentang seorang tuan tanah, Sanusi, yang juga lintah darat atau rentenir yang mengadukan 130 petani yang merampas padinya. Ketika disidang, ternyata terbongkar keburukan-keburukan Sanusi, antara lain dengan memalsukan surat kepemilikan tanah dan menghisap rakyat dengan bunga-bunga hutang. Akhirnya, hakim membebaskan 130 petani itu dan menjadikan Sanusi sebagai terdakwa. Di sini tampak jelas sikap dan keberpihakan Sugiarti kepada orang-orang yang tertindas.
Saya sangat yakin cerpen “Pengadilan Tani” yang dimuat di Harian Rakjat ini memiliki greget yang sangat kuat pada konteks zamannya, karena sangat sesuai dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat mementingkan nasib petani penggarap. Orang dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat ditampilkan sebagai tokoh yang memberi kesadaran kepada petani penggarap untuk bangkit melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh tuan tanah Sanusi.
Citayam, 6 September 2009
1 komentar:
Kenangan Mas Asep Sambodja... Tulisan-tulisan ini membuat namanya tetap abadi. RIP
Posting Komentar