oleh Asep Sambodja
“Sebagai anggota Lekra, ia dipenjara rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili,” demikian secuplik biografi Putu Oka Sukanta, penyair besar Indonesia yang lahir di Singaraja, Bali, 29 Juli 1939.
Dari cuplikan itu, kita memahami bahwa ada ketidakadilan yang dialami oleh Putu Oka Sukanta sebagai sastrawan Lekra. Pertama, kenapa ia ditangkap? Atas kesalahan apa ia ditangkap? Apakah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu salah? Kedua, kenapa penangkapan itu tidak diteruskan ke pengadilan? Bukankah kalau seseorang itu ditangkap kemudian diperiksa, dibuat Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), kemudian BAP itu diserahkan ke kejaksaan dan kemudian dibawa ke pengadilan untuk diadili; apakah ia bersalah atau tidak? Ketiga, Putu Oka Sukanta ditangkap tanpa diadili, tapi kenapa sampai ditahan selama 10 tahun? Bagaimana negara membaca kasus hukum seperti ini. Kalau negara bisa membacanya dengan baik, kenapa tidak ada permintaan maaf kepada mereka yang sudah dizalimi seperti itu? Kenapa pula tidak ada rehabilitasi nama baik mereka? Dan orang yang mengalami nasib seperti Putu Oka Sukanta itu banyak sekali. Kalau kita mengacu pada buku sejarah yang resmi, yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto, jumlahnya paling sedikit 10.000 orang.
Dalam keadaan seperti itulah Putu Oka Sukanta menulis puisi. Karenanya, terbaca dengan jelas bagaimana sakitnya perasaan Putu saat menulis puisi. Setidaknya, ini bisa dibaca pada puisi “Waktu” dalam Tembang Jalak Bali: Puisi Tertindas (2000). Dalam puisi tersebut, Putu Oka Sukanta menuturkan kepedihannya dengan bahasa metaforis, sangat berbeda dengan puisi-puisi Putu Oka pada tahun 1960-an, misalnya puisi-puisinya yang termuat dalam Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008). Kepedihannya yang sangat mendalam itu terurai dalam sepuluh bagian puisi. Puncaknya, Putu Oka menghasilkan puisi yang sangat impresif dan sublim dalam puisi berjudul “Dalam Sel” yang saya kutip secara utuh berikut ini:
Dalam Sel
aku seperti air
yang reda dari goncangan
mengapungkan busa
mengendapkan ampas
menapis keruh
pagi yang jernih
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
mengaca ke dalam
pada keheningan di balur kabut
dan sosok utuh yang muncul
bukan lagi siapa-siapa
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
kelam menyisih
terang menyorot
bukan lagi bagi siapa-siapa
Puisi ini tidak disertai tahun pembuatan. Namun terbaca bagaimana seorang Putu Oka sebagai orang yang tertindas dan teraniaya—karena di dalam pemeriksaan selalu disertai siksaan—berupaya untuk menghilangkan diri, menjadi bukan siapa-siapa. Dengan tidak menjadi siapa-siapa, dengan meniada, menjadi cara jitu untuk survive di tengah deraan dan siksaan.
Setelah keluar dari penjara pun Putu Oka Sukanta tetap tidak merasa merdeka, karena kartu identitasnya harus dilengkapi dengan simbol ET (eks tahanan politik). Pada hakikatnya, mereka yang keluar dari penjara namun memiliki KTP bertuliskan ET, tetap saja terbelenggu, karena mereka harus wajib lapor sebagaimana seorang pendosa. Dalam puisi “Bermula di Katepe” dan “Nama Saya Ete” yang terhimpun dalam bukunya Perjalanan Penyair: Sajak-sajak Kegelisahan Hidup (1999), Putu Oka memperlihatkan sindirannya terhadap penguasa yang telah memperlakukan mantan tahanan politik sebagai warga kelas dua.
Dalam buku puisi Perjalanan Penyair itu pula Putu Oka Sukanta memperlihatkan perhatiannya pada orang-orang tertindas. Puisi “Marsinah” yang panjang mampu menunjukkan rasa sakit, pedih, yang dialami buruh pabrik arloji itu. Puisi ini benar-benar mengusik rasa kemanusiaan kita; betapa biadabnya orang-orang yang membunuh Marsinah. Demikian pula penganiayaan dan pemerkosaan terhadap keluarga Acan yang tidak mau pindah karena uang ganti rugi dari pemerintah benar-benar merugikan Acan. Karena itulah Acan diperlakukan dengan aniaya agar meninggalkan tanah leluhurnya. Penganiayaan ini terekam dalam puisi “Balada Tiga Perempuan Diperkosa”.
Putu Oka Sukanta juga banyak menulis tentang korban perkosaan dan pembunuhan di Aceh, terutama saat Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan selama sepuluh tahun. Dalam buku Surat Bunga dari Ubud (2008), Putu Oka Sukanta juga menulis puisi tentang dibunuhnya pejuang hak asasi manusia (HAM), Munir. Meskipun Putu Oka belum pernah bertemu dengan Munir, namun kematian itu sangat membuatnya berduka. Sampai-sampai ia menulis, “Aku menghidupkan engkau dalam puisi, yang tak akan bisa dibunuh, tak akan mati.”
Bagaimana pandangan Putu Oka Sukanta terhadap mantan presiden RI kedua, Soeharto? Dalam puisi “Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan” yang terdapat dalam buku Surat Bunga dari Ubud, Putu Oka menulis dengan sangat jelasnya. Ini adalah puisi transparan yang ditulis dengan penuh kejujuran. Berikut ini saya kutip puisi tersebut selengkapnya.
Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan
aku ingat benar, kata Suharto semasa jaya
anak cucu tidak akan membayar hutang, karena kita kaya
hutan tidak akan ligir, sungai tidak tercemar karena kita berbudaya
burung tidak kehilangan sarang, kandungan bumi membangun sejahtera
ternyata telah dibuktikan anak cucu Cendana
aku ingat benar senyumnya, menyeringai serigala
taringnya tidak pernah bersih dari darah jelata
ya, aku ingat benar kata-katanya
anak cucu tidak akan menderita, ternyata anak cucu Cendana
ia dengan lihai membangun bui kecil, bui besar, bui maha luas
bui berjeruji, dan menyaingi angkasa dengan bui tanpa batas
sekarang aku bertanya kepadamu, untuk siapakah itu semua
penjara itu adakah juga rumah untuk anak cucu Cendana
aku ingat benar, setiap bulan masih harus melapor, tidak boleh lupa
erte, erwe, lurah, babinsa, koramil dan seterusnya dinobatkan menjadi mata-mata
dan sampai kini ada yang tertinggal tak mampu disapu
menteri dalam negeri masih bengong, seperti tiang diam terpaku
membisu, aku ingin mendengar bisikan kalbumu
dua ribu, Indonesia baru?
Indonesia baru?
apa yang baru?
dua ribu
kalkulator dihidupkan langkah zaman
dendam diusung keranda kematian
tanganmu, tanganku akan berjabatan
seusai pengadilan.
Jakarta, 1999
Demikianlah.
Citayam, 10 September 2009
“Sebagai anggota Lekra, ia dipenjara rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili,” demikian secuplik biografi Putu Oka Sukanta, penyair besar Indonesia yang lahir di Singaraja, Bali, 29 Juli 1939.
Dari cuplikan itu, kita memahami bahwa ada ketidakadilan yang dialami oleh Putu Oka Sukanta sebagai sastrawan Lekra. Pertama, kenapa ia ditangkap? Atas kesalahan apa ia ditangkap? Apakah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu salah? Kedua, kenapa penangkapan itu tidak diteruskan ke pengadilan? Bukankah kalau seseorang itu ditangkap kemudian diperiksa, dibuat Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), kemudian BAP itu diserahkan ke kejaksaan dan kemudian dibawa ke pengadilan untuk diadili; apakah ia bersalah atau tidak? Ketiga, Putu Oka Sukanta ditangkap tanpa diadili, tapi kenapa sampai ditahan selama 10 tahun? Bagaimana negara membaca kasus hukum seperti ini. Kalau negara bisa membacanya dengan baik, kenapa tidak ada permintaan maaf kepada mereka yang sudah dizalimi seperti itu? Kenapa pula tidak ada rehabilitasi nama baik mereka? Dan orang yang mengalami nasib seperti Putu Oka Sukanta itu banyak sekali. Kalau kita mengacu pada buku sejarah yang resmi, yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto, jumlahnya paling sedikit 10.000 orang.
Dalam keadaan seperti itulah Putu Oka Sukanta menulis puisi. Karenanya, terbaca dengan jelas bagaimana sakitnya perasaan Putu saat menulis puisi. Setidaknya, ini bisa dibaca pada puisi “Waktu” dalam Tembang Jalak Bali: Puisi Tertindas (2000). Dalam puisi tersebut, Putu Oka Sukanta menuturkan kepedihannya dengan bahasa metaforis, sangat berbeda dengan puisi-puisi Putu Oka pada tahun 1960-an, misalnya puisi-puisinya yang termuat dalam Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008). Kepedihannya yang sangat mendalam itu terurai dalam sepuluh bagian puisi. Puncaknya, Putu Oka menghasilkan puisi yang sangat impresif dan sublim dalam puisi berjudul “Dalam Sel” yang saya kutip secara utuh berikut ini:
Dalam Sel
aku seperti air
yang reda dari goncangan
mengapungkan busa
mengendapkan ampas
menapis keruh
pagi yang jernih
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
mengaca ke dalam
pada keheningan di balur kabut
dan sosok utuh yang muncul
bukan lagi siapa-siapa
aku seperti air
yang reda dalam goncangan
kelam menyisih
terang menyorot
bukan lagi bagi siapa-siapa
Puisi ini tidak disertai tahun pembuatan. Namun terbaca bagaimana seorang Putu Oka sebagai orang yang tertindas dan teraniaya—karena di dalam pemeriksaan selalu disertai siksaan—berupaya untuk menghilangkan diri, menjadi bukan siapa-siapa. Dengan tidak menjadi siapa-siapa, dengan meniada, menjadi cara jitu untuk survive di tengah deraan dan siksaan.
Setelah keluar dari penjara pun Putu Oka Sukanta tetap tidak merasa merdeka, karena kartu identitasnya harus dilengkapi dengan simbol ET (eks tahanan politik). Pada hakikatnya, mereka yang keluar dari penjara namun memiliki KTP bertuliskan ET, tetap saja terbelenggu, karena mereka harus wajib lapor sebagaimana seorang pendosa. Dalam puisi “Bermula di Katepe” dan “Nama Saya Ete” yang terhimpun dalam bukunya Perjalanan Penyair: Sajak-sajak Kegelisahan Hidup (1999), Putu Oka memperlihatkan sindirannya terhadap penguasa yang telah memperlakukan mantan tahanan politik sebagai warga kelas dua.
Dalam buku puisi Perjalanan Penyair itu pula Putu Oka Sukanta memperlihatkan perhatiannya pada orang-orang tertindas. Puisi “Marsinah” yang panjang mampu menunjukkan rasa sakit, pedih, yang dialami buruh pabrik arloji itu. Puisi ini benar-benar mengusik rasa kemanusiaan kita; betapa biadabnya orang-orang yang membunuh Marsinah. Demikian pula penganiayaan dan pemerkosaan terhadap keluarga Acan yang tidak mau pindah karena uang ganti rugi dari pemerintah benar-benar merugikan Acan. Karena itulah Acan diperlakukan dengan aniaya agar meninggalkan tanah leluhurnya. Penganiayaan ini terekam dalam puisi “Balada Tiga Perempuan Diperkosa”.
Putu Oka Sukanta juga banyak menulis tentang korban perkosaan dan pembunuhan di Aceh, terutama saat Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan selama sepuluh tahun. Dalam buku Surat Bunga dari Ubud (2008), Putu Oka Sukanta juga menulis puisi tentang dibunuhnya pejuang hak asasi manusia (HAM), Munir. Meskipun Putu Oka belum pernah bertemu dengan Munir, namun kematian itu sangat membuatnya berduka. Sampai-sampai ia menulis, “Aku menghidupkan engkau dalam puisi, yang tak akan bisa dibunuh, tak akan mati.”
Bagaimana pandangan Putu Oka Sukanta terhadap mantan presiden RI kedua, Soeharto? Dalam puisi “Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan” yang terdapat dalam buku Surat Bunga dari Ubud, Putu Oka menulis dengan sangat jelasnya. Ini adalah puisi transparan yang ditulis dengan penuh kejujuran. Berikut ini saya kutip puisi tersebut selengkapnya.
Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan
aku ingat benar, kata Suharto semasa jaya
anak cucu tidak akan membayar hutang, karena kita kaya
hutan tidak akan ligir, sungai tidak tercemar karena kita berbudaya
burung tidak kehilangan sarang, kandungan bumi membangun sejahtera
ternyata telah dibuktikan anak cucu Cendana
aku ingat benar senyumnya, menyeringai serigala
taringnya tidak pernah bersih dari darah jelata
ya, aku ingat benar kata-katanya
anak cucu tidak akan menderita, ternyata anak cucu Cendana
ia dengan lihai membangun bui kecil, bui besar, bui maha luas
bui berjeruji, dan menyaingi angkasa dengan bui tanpa batas
sekarang aku bertanya kepadamu, untuk siapakah itu semua
penjara itu adakah juga rumah untuk anak cucu Cendana
aku ingat benar, setiap bulan masih harus melapor, tidak boleh lupa
erte, erwe, lurah, babinsa, koramil dan seterusnya dinobatkan menjadi mata-mata
dan sampai kini ada yang tertinggal tak mampu disapu
menteri dalam negeri masih bengong, seperti tiang diam terpaku
membisu, aku ingin mendengar bisikan kalbumu
dua ribu, Indonesia baru?
Indonesia baru?
apa yang baru?
dua ribu
kalkulator dihidupkan langkah zaman
dendam diusung keranda kematian
tanganmu, tanganku akan berjabatan
seusai pengadilan.
Jakarta, 1999
Demikianlah.
Citayam, 10 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar