Rabu, 16 September 2009

Pramoedya Ananta Toer dan "Tahun Pembabatan Total"



oleh Asep Sambodja

Harus diakui bahwa dalam salah satu artikelnya di Lembaran Kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur, 9 Mei 1965, yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” ada pernyataan tertulis Pramoedya Ananta Toer yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Ini dapat dikatakan sebagai kesalahan Pramoedya yang membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dalam artikel tersebut, Pramoedya menulis, “Sebagaimana diketahui penerbit-penerbit yang menerbitkan karya-karya Manikebu adalah seperti penerbit-penerbit pemerintah, penerbit-penerbit swasta untuk tidak menyebut beberapa nama. Apakah sebabnya penerbit-penerbit tersebut menerbitkannya dan apa sebabnya tidak pernah menarik kembali penerbitan-penerbitan tersebut dari peredaran? Apakah sebabnya ada penerbit yang justru menerbitkan buku-buku plagiat Hamka, sedang sudah diketahuinya karya tersebut adalah plagiat? Bukankah Presiden Soekarno telah menggariskan agar berkepribadian sendiri pada sekitar Konsepsi Presiden tahun 1957? Apakah perbuatannya tersebut mendukung tugas perongrongan ataukah hanya karena ketamakan belaka?” (Prahara Budaya, hlm. 404).
Pada bagian lain, Pramoedya juga menulis, “Kita masih bisa bertanya sekarang ini, apakah sebabnya buku Zainal Abidin Ahmad Membentuk Negara Islam masih pada meringis di pinggir-pinggir jalan Jakarta, sekalipun di trotoar, dan apakah sebabnya buku Doktor Zhivago terjemahan Trisno Sumardjo diterbitkan?” (PB, hlm. 404).
Satu lagi, Pramoedya menulis, “Dengan bersenjatakan ‘Berdikari’, ‘Berkepribadian dalam Kebudayaan’, dan ‘Banting Stir’, pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideolozi gelandangan telah merupakan suatu tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner” (PB, hlm. 405).
Tampak sekali bahwa Pramoedya Ananta Toer sebagai penanggung jawab rubric “Lentera” di harian Bintang Timur melakukan tindakan represif melalui tulisan-tulisannya yang tersebar melalui media massa. Tulisan semacam ini membuat “keder” sastrawan-sastrawan Manikebu.
“Pembabatan Total” yang dimaksudkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam artikelnya tersebut, sepanjang yang saya tangkap dari tulisannya, adalah ingin mengganyang kebudayaan Manikebu, Komprador, Imperialis, dan Kontra revolusi secara total”. Saya sama sekali tidak melihat adanya kaitan artikel itu dengan peristiwa G30S 1965.
Nah, sayangnya, dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (1995), Tauifiq Ismail sebagai editor buku itu melakukan parafrasa terhadap artikel Pram tersebut. Parafrasa sebenarnya merupakan tindakan untuk menjelaskan suatu teks agar sesuai dengan maksud yang hendak disampaikan oleh pengarangnya.
Sayangnya lagi, Taufiq Ismail memakai kacamata politik Orde Baru yang mengait-ngaitkan artikel Pramoedya Ananta Toer itu dengan peristiwa Gestapu (Gerakan September Tigapuluh—akronim yang aneh, AS). Dalam bukunya itu, Taufiq Ismail menulis demikian: “Kurang sedikit lima bulan sebelum pecahnya Gestapu, di Lembaran Kebudayaan “Lentera” surat kabar Bintang Timur, Pramoedya Ananta Toer menulis artikel dengan judul ‘Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total’. Pada waktu artikel itu disiarkan suasana yang sudah lama dipersiapkan PKI dan kawan-kawannya menuju perebutan kekuasaan berdarah sudah semakin matang dan menanjak menuju puncak dari apa yang mereka sebut ‘situasi revolusioner’. Jalan yang diratakan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan menyingkirkan penghalang-penghalang, dan istilahnya adalah pembabatan… (PB, hlm. 402).
Saya melihat upaya keras Taufiq Ismail untuk menyangkut pautkan sastrawan-sastrawan Lekra dengan peristiwa pembunuhan Dewan Jenderal pada 30 September 1965. Sebelumnya saya telah menyinggung bahwa puisi Mawie Ananta Jonie yang berbicara tentang kemiskinan pun dikait-kaitkan dengan peristiwa G30S hanya karena judulnya “Kunanti Bumi Memerah Darah”. Kini, artikel Pramoedya yang sangat antiimperialisme Amerika pun dikaitkan dengan peristiwa G30S hanya karena judulnya “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”.
Dampak dari tulisan Taufiq Ismail itu, sastrawan-sastrawan Lekra tetap berada dalam kondisi terpuruk—bahkan sampai sekarang. Pada 1995 itu pula, tidak lama setelah Prahara Budaya terbit, Pramoedya mendapat penganugerahan Hadiah Magsaysay dari Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina. Tapi, apa yang terjadi di NKRI ini? Sastrawan Manikebu yang dipelopori oleh Taufiq Ismail mengeluarkan petisi menolak pemberian hadiah tersebut. Namun, Yayasan Ramon Magsaysay tidak mau menggubris petisi itu. Hadiah tetap diberikan kepada Pramoedya yang mengalami represif di zaman Orde Baru, meskipun ia sendiri melakukan represi di zaman Orde Lama.
Tapi, yang ingin saya tanyakan, kenapa Taufiq Ismail selalu mengaitkan sastrawan Lekra dengan peristiwa berdarah 30 September? Ada motif politik apa di balik itu?

Citayam, 16 September 2009

1 komentar:

PROSES KREATIF PENULIS CYBER mengatakan...

Bedanya membaca dengan emosi dan pada saat terlibat dengan membaca merunuti sejarah secara akademisi yang pasti jauh dari gejolak emosi.
Sekarang sastra eksil juga berusaha merasa tak terlibat dalam huru hara prahara budaya itu, tetapi selalu kesengsaraan yang tak termanusiakan yang ditonjolkan demi merangkul simpati bagi yang tak terlibat dalam peristiwa. Sastra yang memihak itu yang akan muncul jadinya!