oleh Asep Sambodja
penyair, siapalah yang akan menangisimu
di negeri asing ini
Tidak ada yang akan menangisi penyair dalam keterasingan. Kutipan puisi di atas merupakan puisi karya Chalik Hamid (71) berjudul “Korban Keganasan” yang ditujukan kepada penyair Agam Wispi. Banyak sastrawan Lekra yang berada di luar negeri dan tidak diperbolehkan kembali ke tanah airnya sendiri. Pasca peristiwa G30S 1965, Presiden Soeharto melarang orang-orang Lekra, yang merupakan lembaga kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali ke Indonesia.
Karena larangan itulah banyak sastrawan Lekra yang “kelayaban”—istilah Mawie Ananta Jonie—di Belanda dan belahan Eropa lainnya. Identitas sebagai warga negara Indonesia diminta oleh KBRI. Akibatnya, ada yang tidak memiliki kewarganegaraan dan ada yang meminta suaka di negara yang bersangkutan dan memiliki kewarganegaraan Belanda, misalnya. Padahal, kalau dirunut ke belakang, apa salah mereka? Apakah sastrawan-sastrawan Lekra yang berada di luar negeri itu benar-benar terbukti terlibat dalam G30S? Di manakah dewi keadilan? Lalu kenapa mereka dilarang kembali ke Indonesia?
Pelarangan untuk kembali ke tanah airnya sendiri merupakan hukuman yang berat juga. Ini tidak ada bedanya seperti dibuang ke Digul, jauh dari keluarga dan sanak famili. Sebagian di antara mereka bahkan sudah meninggal di sana. Bagi mereka yang masih hidup, hal ini merupakan siksaan yang teramat berat. Bagaimana mengobati rindu? Apakah cukup dengan kata-kata yang dikirim melalui surat atau email? Apakah cukup hanya mendengar suara? Tanpa berpelukan?
Sastrawan-sastrawan Lekra yang berada di luar negeri itu ada yang menyebutnya sebagai sastrawan eksil, sastrawan yang terpinggirkan. Namun, mereka masih terus berkarya. Dan, karyanya sungguh luar biasa, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Hersri Setiawan, misalnya. Kesungguhan dalam bekerja dan berkarya itu juga diperlihatkan oleh H.R. Bandaharo, seperti yang terbaca dalam puisi Chalik Hamid yang berjudul “Matinya Seorang Penyair”, yang ditujukan kepada H.R. Bandaharo:
masih aku ingat di Kesawan enam dua
kantor harian sekaligus kantor Lekra
setiap pagi engkau datang berkacamata
dengan tekun duduk menghadap meja tua
menelaah sajak-sajak dan cerita
sampai malam tiada batas kerja
entah berapa sudah penjara engkau masuki
razia demi razia oleh bangsa sendiri
dari Sukamulia sampai ke Pulau Buru yang tanpa diadili
karena engkau membela keadilan dan kemerdekaan
merdeka menyatakan pendapat
merdeka bicara dan berbuat
dan jaminan hak asasi manusia
Puisi-puisi Chalik Hamid dalam buku Mawar Merah (2008) yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung ini kebanyakan merupakan “puisi cepat”, sebagaimana yang dikatakan Asahan Aidit yang memberi pengantar buku ini. Artinya, pembaca bisa langsung memahami apa yang ditulis penyair dalam puisi-puisinya. Sebagai contoh, misalnya, puisi “Dibungkem” berikut ini, yang ditulis pada 1994—tahun pembreidelan Tempo, Detik, dan Editor.
Dibungkem
dulu politik jadi panglima
kau dan aku boleh bicara
kini politik di tangan panglima
kita dibungkem tak boleh bicara
Saya akan memperlihatkan sebuah puisi Chalik Hamid yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini. Yakni, sastrawan-sastrawan Lekra tidak akan pernah melupakan kebijakan Soeharto ketika mendirikan rezim Orde Baru dengan melarang PKI, membunuh ratusan ribu orang PKI terutama di Jawa dan Bali, menahan orang-orang PKI atau orang-orang yang dituduh PKI—sebagian ditahan di Pulau Buru, dan melarang orang-orang PKI (termasuk sastrawan Lekra) yang sedang berada di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Semuanya itu tanpa proses pengadilan. Belum lagi perempuan-perempuan yang diperkosa saat interogasi dilakukan aparat keamanan (lihat buku Ita F. Nadia (2008), Suara Perempuan Korban Tragedi ’65). Puisi yang saya maksud berjudul “Doa”. Saya sengaja mengutip secara lengkap puisi ini agar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar memperhatikan nasib mereka. Tidak hanya nasib sastrawan Lekra, tapi nasib ribuan bahkan jutaan orang-orang PKI yang ditutup mata pencahariannya oleh rezim Orde Baru Soeharto. Tidak hanya merehabilitasi nama baik mereka, tapi juga memberi kompensasi atas ketidakadilan yang pernah dilakukan rezim Orde Baru.
Doa
Pak Harto
aku berdoa dengan sepenuh hati
agar engkau jangan cepat mati
sebab rakyat masih membutuhkan engkau
untuk diadili atas kejahatan-kejahatanmu
Kalau engkau mati sekarang
siapalah yang akan bermain di lapangan golf
yang telah engkau bangun di seluruh negeri
siapalah yang akan menebangi hutan
yang kini sudah mulai tumbuh lagi
siapalah yang akan meneror rakyat
yang kini sudah berani bangkit kembali
siapalah yang akan menikmati uangmu
yang bertimbun di bank-bank luar negeri
siapalah yang akan melaksanakan petrus
agar mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan
hanya engkau, engkaulah yang bisa melakukannya
Aku berdoa agar engkau segera sehat
supaya bisa diadili di depan rakyat
Kuatkan imanmu, teguhkan hatimu
biarkan arwah ratusan ribu mayat-mayat
yang kau bunuh
terus membayangimu setiap hari
biarkan jin, hantu, setan, dan kuntilanak
menggodaimu siang dan malam
atas dosa-dosa dan kejahatan yang kau lakukan
Tutup telingamu rapat-rapat
jangan dengarkan jeritan-jeritan
yang menghujanimu terus-terusan
karena tanah mereka telah kau musnahkan
rumah mereka kau ratakan
dank au bangun gedung-gedung bertingkat
untuk kemewahan kaum konglomerat
Sembunyikan tanganmu
yang berlumuran darah rakyat
yang kau teror, kau sembelih, dank au cincang
Sudah tiba saatnya
hamburkan uang yang bermiliaran itu
untuk menghasut rakyat di mana-mana
agar melakukan perang agama
lakukan kejahatan di mana saja
karena kau sudah pasti kalah
namun berhasil memutar sejarah
Sekali lagi aku berdoa
agar engkau segera sehat
supaya bisa diadili di depan rakyat
amin.
Puisi ini jelas ditulis sebelum Presiden kedua itu meninggal dunia dan dimakamkan di Astana Giribangun, Jawa Tengah. Tapi, sekali lagi, mudah-mudahan puisi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah yang sekarang. Suara-suara seperti ini tidak akan pernah berhenti diperdengarkan, sebelum keadilan benar-benar ditegakkan.
Citayam, 12 September 2009
penyair, siapalah yang akan menangisimu
di negeri asing ini
Tidak ada yang akan menangisi penyair dalam keterasingan. Kutipan puisi di atas merupakan puisi karya Chalik Hamid (71) berjudul “Korban Keganasan” yang ditujukan kepada penyair Agam Wispi. Banyak sastrawan Lekra yang berada di luar negeri dan tidak diperbolehkan kembali ke tanah airnya sendiri. Pasca peristiwa G30S 1965, Presiden Soeharto melarang orang-orang Lekra, yang merupakan lembaga kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali ke Indonesia.
Karena larangan itulah banyak sastrawan Lekra yang “kelayaban”—istilah Mawie Ananta Jonie—di Belanda dan belahan Eropa lainnya. Identitas sebagai warga negara Indonesia diminta oleh KBRI. Akibatnya, ada yang tidak memiliki kewarganegaraan dan ada yang meminta suaka di negara yang bersangkutan dan memiliki kewarganegaraan Belanda, misalnya. Padahal, kalau dirunut ke belakang, apa salah mereka? Apakah sastrawan-sastrawan Lekra yang berada di luar negeri itu benar-benar terbukti terlibat dalam G30S? Di manakah dewi keadilan? Lalu kenapa mereka dilarang kembali ke Indonesia?
Pelarangan untuk kembali ke tanah airnya sendiri merupakan hukuman yang berat juga. Ini tidak ada bedanya seperti dibuang ke Digul, jauh dari keluarga dan sanak famili. Sebagian di antara mereka bahkan sudah meninggal di sana. Bagi mereka yang masih hidup, hal ini merupakan siksaan yang teramat berat. Bagaimana mengobati rindu? Apakah cukup dengan kata-kata yang dikirim melalui surat atau email? Apakah cukup hanya mendengar suara? Tanpa berpelukan?
Sastrawan-sastrawan Lekra yang berada di luar negeri itu ada yang menyebutnya sebagai sastrawan eksil, sastrawan yang terpinggirkan. Namun, mereka masih terus berkarya. Dan, karyanya sungguh luar biasa, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Hersri Setiawan, misalnya. Kesungguhan dalam bekerja dan berkarya itu juga diperlihatkan oleh H.R. Bandaharo, seperti yang terbaca dalam puisi Chalik Hamid yang berjudul “Matinya Seorang Penyair”, yang ditujukan kepada H.R. Bandaharo:
masih aku ingat di Kesawan enam dua
kantor harian sekaligus kantor Lekra
setiap pagi engkau datang berkacamata
dengan tekun duduk menghadap meja tua
menelaah sajak-sajak dan cerita
sampai malam tiada batas kerja
entah berapa sudah penjara engkau masuki
razia demi razia oleh bangsa sendiri
dari Sukamulia sampai ke Pulau Buru yang tanpa diadili
karena engkau membela keadilan dan kemerdekaan
merdeka menyatakan pendapat
merdeka bicara dan berbuat
dan jaminan hak asasi manusia
Puisi-puisi Chalik Hamid dalam buku Mawar Merah (2008) yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung ini kebanyakan merupakan “puisi cepat”, sebagaimana yang dikatakan Asahan Aidit yang memberi pengantar buku ini. Artinya, pembaca bisa langsung memahami apa yang ditulis penyair dalam puisi-puisinya. Sebagai contoh, misalnya, puisi “Dibungkem” berikut ini, yang ditulis pada 1994—tahun pembreidelan Tempo, Detik, dan Editor.
Dibungkem
dulu politik jadi panglima
kau dan aku boleh bicara
kini politik di tangan panglima
kita dibungkem tak boleh bicara
Saya akan memperlihatkan sebuah puisi Chalik Hamid yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini. Yakni, sastrawan-sastrawan Lekra tidak akan pernah melupakan kebijakan Soeharto ketika mendirikan rezim Orde Baru dengan melarang PKI, membunuh ratusan ribu orang PKI terutama di Jawa dan Bali, menahan orang-orang PKI atau orang-orang yang dituduh PKI—sebagian ditahan di Pulau Buru, dan melarang orang-orang PKI (termasuk sastrawan Lekra) yang sedang berada di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Semuanya itu tanpa proses pengadilan. Belum lagi perempuan-perempuan yang diperkosa saat interogasi dilakukan aparat keamanan (lihat buku Ita F. Nadia (2008), Suara Perempuan Korban Tragedi ’65). Puisi yang saya maksud berjudul “Doa”. Saya sengaja mengutip secara lengkap puisi ini agar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar memperhatikan nasib mereka. Tidak hanya nasib sastrawan Lekra, tapi nasib ribuan bahkan jutaan orang-orang PKI yang ditutup mata pencahariannya oleh rezim Orde Baru Soeharto. Tidak hanya merehabilitasi nama baik mereka, tapi juga memberi kompensasi atas ketidakadilan yang pernah dilakukan rezim Orde Baru.
Doa
Pak Harto
aku berdoa dengan sepenuh hati
agar engkau jangan cepat mati
sebab rakyat masih membutuhkan engkau
untuk diadili atas kejahatan-kejahatanmu
Kalau engkau mati sekarang
siapalah yang akan bermain di lapangan golf
yang telah engkau bangun di seluruh negeri
siapalah yang akan menebangi hutan
yang kini sudah mulai tumbuh lagi
siapalah yang akan meneror rakyat
yang kini sudah berani bangkit kembali
siapalah yang akan menikmati uangmu
yang bertimbun di bank-bank luar negeri
siapalah yang akan melaksanakan petrus
agar mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan
hanya engkau, engkaulah yang bisa melakukannya
Aku berdoa agar engkau segera sehat
supaya bisa diadili di depan rakyat
Kuatkan imanmu, teguhkan hatimu
biarkan arwah ratusan ribu mayat-mayat
yang kau bunuh
terus membayangimu setiap hari
biarkan jin, hantu, setan, dan kuntilanak
menggodaimu siang dan malam
atas dosa-dosa dan kejahatan yang kau lakukan
Tutup telingamu rapat-rapat
jangan dengarkan jeritan-jeritan
yang menghujanimu terus-terusan
karena tanah mereka telah kau musnahkan
rumah mereka kau ratakan
dank au bangun gedung-gedung bertingkat
untuk kemewahan kaum konglomerat
Sembunyikan tanganmu
yang berlumuran darah rakyat
yang kau teror, kau sembelih, dank au cincang
Sudah tiba saatnya
hamburkan uang yang bermiliaran itu
untuk menghasut rakyat di mana-mana
agar melakukan perang agama
lakukan kejahatan di mana saja
karena kau sudah pasti kalah
namun berhasil memutar sejarah
Sekali lagi aku berdoa
agar engkau segera sehat
supaya bisa diadili di depan rakyat
amin.
Puisi ini jelas ditulis sebelum Presiden kedua itu meninggal dunia dan dimakamkan di Astana Giribangun, Jawa Tengah. Tapi, sekali lagi, mudah-mudahan puisi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah yang sekarang. Suara-suara seperti ini tidak akan pernah berhenti diperdengarkan, sebelum keadilan benar-benar ditegakkan.
Citayam, 12 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar