Jumat, 11 September 2009

H.R. Bandaharo Menempuh Jalan Rakyat




oleh Asep Sambodja

dan Bung Karno mengucapkan:
“Saya sekarang menyatakan Indonesia keluar dari PBB!”

Penyair H.R. Bandaharo sangat terkesima dengan pernyataan Presiden Soekarno yang menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Malaysia diberi kedudukan sebagai anggota tidak tetap dalam Dewan Keamanan PBB. Sementara saat itu Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Pernyataan itu dilontarkan Bung Karno pada 7 Januari 1965. Akibat dari keluarnya Indonesia dari PBB, menurut M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), Indonesia mengalami keterkucilan diplomatik oleh negara-negara Asia-Afrika. Namun, H.R. Bandaharo memberi makna yang lain pada pernyataan Bung Karno itu. Dalam puisi “Menempuh Jalan Rakyat”, Bandaharo menulis:

Ini adalah permulaan dari suatu taraf juang
dalam perlawanan terhadap penindasan lahir-batin rakyat
di zaman kebangkitan ditandai oleh bergolaknya empat samudera
oleh terpaan badai dan guntur di lima benua
hanya tujuh kata dalam satu kalimat
tapi dia adalah halilintar menggeger bumi
pertanda pertama dari musim baru pasti datang

Sebagaimana yang tampak menonjol dalam puisi-puisi Agam Wispi, dalam puisi H.R. Bandaharo pun sangat menonjol sikap antiimperialisme Amerika. Sikap Agam Wispi dan H.R. Bandaharo merepresentasikan sikap sastrawan Lekra secara keseluruhan. Prinsip berkesenian yang menempatkan politik sebagai panglima membawa konsekuensi untuk mendukung kebijakan Bung Karno, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengayomi Lekra tengah bermesraan dengan garis politik Bung Karno. Ketika Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB, sebagaimana terekam dalam puisi Bandaharo, PKI beserta komponennya menyambutnya dengan gegap gempita.

Lenyaplah mitos kesucian PBB
lenyaplah mitos “dunia merdeka”
karena rakyat bangkit berlawan
dan menjadi jelas: imperialis Amerika setan dunia!

Kaum imperialis AS, si setan dunia, adalah mereka
yang dicekik oleh perbuatan-perbuatannya sendiri
mengapa mereka di Asia
di Korea, di Jepang, di Filipina, di Taiwan, di Vietnam, di semua negeri?
Apa kerja mereka di Afrika
di Konggo, di Tanzania, di Ghana, dan dimana-mana?
Untuk apa mereka di Amerika Latin
di Kuba, di Panama, di Puerto Rico, dan di semua pelosok?
Bahkan apa faedah mereka di Eropa dan di bagian lain dunia ini?
Katanya berdagang, tapi dagangannya adalah maut
Katanya bersahabat, tapi persahabatannya campur tangan, penipuan, dan subversi
Katanya untuk perdamaian, tapi yang dibawanya adu domba dan perpecahan
Katanya untuk kemerdekaan, tapi nyatanya penaklukkan baru, neokolonialisme
Katanya membantu, tapi bantuannya menjerat leher dan membelenggu
Katanya membawa kebudayaan, tapi kebudayaannya memabukkan, pelacuran, dan saling tembak.

Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Goenawan Mohamad yang mengatakan bahwa karya-karya sastrawan Lekra seperti Agam Wispi, H.R. Bandaharo, dan Amarzan Ismail Hamid gemanya masih hidup sampai sekarang (lihat pengantar GM dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (2006) karya Eka Kurniawan). Kalau kita lihat apa yang sekarang terjadi di Afghanistan, Irak, Iran, Korea Utara, nyaris ada campur tangan Amerika. Begitu juga ketika Resolusi PBB tidak bergigi ketika Israel menginvasi Palestina, pastilah di balik itu ada campur tangan Amerika.
Puisi-puisi H.R. Bandaharo yang terhimpun dalam Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) sebagian ada yang tak terbaca. Menurut Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri yang menghimpun puisi-puisi sastrawan Lekra yang dimuat di Harian Rakjat, banyak koran tersebut yang sudah dimakan rayap. Apalagi koran Harian Rakjat dan Bintang Timur disimpan rapat-rapat di sebuah kamar di sebuah perpustakaan yang di pintunya tertulis: BACAAN TERLARANG.


Citayam, 11 September 2009

1 komentar:

Abdullah Sumringah mengatakan...

Tulisannya bagus, rapi, dan enak dibaca.