Selasa, 15 September 2009

Teori Sastra New Historicism dan Kedudukan Sastrawan



oleh Asep Sambodja

Teori atau pendekatan new historicism menempatkan sastrawan pada posisi atau kedudukan yang terhormat. Karena, sastrawan terlibat langsung dalam proses perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Sastrawan ikut mengkonstruksi budaya suatu masyarakat melalui karya sastranya. Ide atau gagasan sastrawan yang dituangkan dalam karya sastra bisa mempengaruhi opini publik. Dengan demikian, disadari atau tidak, sastrawan ikut bertanggung jawab atas karya-karyanya yang menjadi konsumsi masyarakat pembaca.
Setiap sastrawan—dengan segala latar belakangnya—memotret dan memaknai kehidupan di sekitarnya untuk kemudian diekspresikan melalui karya sastra. Karena itu, setiap karya sastra yang dihasilkan oleh siapa pun sangatlah penting, terlepas dari apakah karya sastra itu termasuk karya sastra yang serius ataupun karya sastra populer. Sebab, bagaimanapun, setiap sastrawan memiliki cara pandang dan cara bertutur yang unik, yang berbeda-beda. Ada yang serius, ada yang santai, ada yang main-main. Namun, kita melihatnya karya itu merupakan potret masyarakat pada zamannya.
Pendekatan new historicism tidak memisahkan karya sastra dengan pengarangnya, juga tidak memisahkan karya sastra itu dengan konteks zamannya. Bagi sejarawan yang beraliran new cultural historian, yang tidak lagi memisahkan fakta dan fiksi, sangat menganggap penting setiap karya sastra yang lahir pada suatu zaman. Karena, dengan pendekatan itu mereka juga bisa melihat perilaku dan perubahan budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Para sejarawan juga bisa menilai nilai-nilai yang berkembang di suatu masyarakat pada zaman tertentu dari karya-karya sastra yang lahir pada zaman itu.
Seperti apakah pendekatan new historicism itu? Saya akan berikan ringkasan tulisan Melani Budianta yang pernah dimuat di jurnal Susastra. *

Ringkasan Artikel Melani Budianta:
Dalam artikel “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” yang dimuat dalam Jurnal Susastra Volume 2, No. 3, tahun 2006, Melani Budianta menjelaskan tentang teori sastra new historicism yang relatif baru di Indonesia. New historicism adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. Kata new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblattt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya.
Dengan menekankan kaitan antara teks dan sejarah, Greenblattt mendobrak kecenderungan kajian tekstual formalis dalam tradisi new criticism yang bersifat ahistoris, yang melihat sastra sebagai wilayah estetik yang otonom, dipisahkan dari aspek-aspek yang dianggap berada “di luar” karya tersebut.
Sastra, menurut perspektif yang ditawarkan new historicism, tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena ia ikut mengambil bagian di dalamnya. Dengan demikian, pemisahan antara luar-dalam, ekstrinsik-intrinsik, tak bisa dipertahankan lagi. Karena semua teks, baik sastra maupun nonsastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, maka berbeda dari new criticism yang hanya meneliti karya sastra, new historicism mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra.
Berbeda dengan new criticism yang membedakan antara karya sastra yang adiluhung dan yang picisan dengan suatu standar estetika yang dianggap universal dan baku, new historicism melihat pembedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik. Dalam hal ini new historicism merevisi asumsi new criticism dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, tak terjamah waktu, dan natural sebetulnya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan bentukan sosial.
Oleh karenanya, batas antara sastra adiluhung dan picisan, budaya tinggi dan rendah, tidak diterima begitu saja, tetapi menjadi wilayah penelitian, bukan dengan tujuan untuk mengevaluasi produk-produk budaya tersebut, melainkan untuk menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks tinggi, rendah, sastra, dan nonsastra itu saling terkait dengan persoalan-persoalan pada zamannya. Dengan memperlihatkan bagaimana teks sastra maupun nonsastra, sastra adiluhung maupun popular, sama-sama terpapar dan membentuk nilai-nilai yang ada pada zamannya, new historicism meruntuhkan suatu aksioma yang mendasari new criticism bahwa sastra popular biasanya bersifat konformis, atau mendukung nilai-nilai dominan yang ada, sedangkan sastra tinggi menentang, mempertanyakan, dan bersifat kritis terhadap tatanan sosial, politik, dan ekonomi.
Selain menggugat formalisme, Greenblattt juga menawarkan pembaharuan atas pendekatan sejarah yang pada waktu itu masih dominant dalam kritik sastra di Amerika, yakni kecenderungan melihat sastra sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya dan masyarakatnya. Dalam perspektif yang baru, karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan memproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya. Teks memang merupakan produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya, tapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial.
Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekadar latar belakang yang koheren dan menyatu, yang dengan transparan dapat diakses; sejarah itu sendiri terdiri dari berbagai teks yang masing-masing menyusun satu versi tentang kenyataan. Dalam perspektif new historicism, “kenyataan sejarah” tidak lagi tunggal dan absolut, tetapi terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Jadi, kaitan antara karya sastra dan sejarah adalah kaitan intertekstual antara berbagai teks, fiksi maupun fakta, yang diproduksi pada kurun waktu yang sama atau berbeda.
Revisi new historicism terhadap pendekatan formalis maupun sejarah disimpulkan oleh Louis A. Montrose dengan istilah: membaca sastra sama dengan membaca sejarah; membaca sejarah sama dengan membaca sastra.
Aspek politis dan ideologis yang bermain dalam produk-produk budaya, tidak bisa tidak terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Dalam hal ini kajian-kajian new historicism banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault. Kekuasaan, dalam pengertian Foucault, tidak dilihat sebagai suatu yang negatif, melainkan suatu keniscayaan yang selalu hadir dalam setiap interaksi manusia, termasuk dalam bahasa. Relasi kuasa dalam hal ini tidak dilihat dalam satu arah yang linear atau vertical, sebagai entitas yang diperebutkan atau dipakai untuk menindas atau memberontak, melainkan sebagai suatu potensi yang bersirkulasi terus-menerus tanpa henti, mendorong kreativitas dan produktivitas budaya. Karena relasi kuasa hadir dalam setiap tindak bahasa, maka karya sastra dengan sendirinya menghadirkan relasi kuasa itu melalui bahasa yang dipakainya.
Sejumlah persoalan tentang proses produksi, reproduksi, apropriasi (derma) nilai-nilai budaya yang relevan untuk dilontarkan sebagai permasalahan dalam menganalisis teks, menurut Greenblattt, antara lain:

1. Perilaku atau praktik budaya apa yang didukung atau dikukuhkan oleh teks?
2. Mengapa pembaca dalam zaman tertentu menganggap karya ini bermakna?
3. Adakah perbedaan antara nilai-nilai saya (kritikus/peneliti) dengan nilai-nilai karya yang saya amati?
4. Pemahaman sosial apa yang mendasari karya ini?
5. Kebebasan berpikir atau bergerak siapa yang secara implisit dan eksplisit dibayangkan oleh karya ini?
6. Adakah struktur sosial yang lebih luas, yang terkait dengan apa yang disanjung atau dipersalahkan oleh teks?

Dalam kajiannya, new historicism menyandingkan teks sastra kanon dengan teks yang marginal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dengan suatu titik tertentu dalam sejarah secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, new historicism cenderung memilih, nyaris secara random, hal-hal yang tampak remeh-temeh dan tersisihkan dari sejarah, dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai untuk menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.
Sebagai peneliti, Melani Budianta tidak mulai dari teori atau pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihat berbagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks itu untuk diangkat sebagai penelitian. Pada saat yang sama, berbagai konsep, teori, model-model kajian yang pernah dibacanya dan telah mengalami proses internalisasi dalam dirinya, sehingga memberinya banyak “kacamata” yang memungkinkannya menangkap permasalahan tertentu dalam teks.
Melani Budianta mengajak pembaca untuk membaca model-model kajian yang menerapkan berbagai konsep, teori, dan pendekatan, kemudian melupakannya ketika kita sedang menggeluti teks-teks sastra, sebab hanya dengan demikian permasalahan-permasalahan yang kontekstual kita temukan. ***

Citayam, 15 September 2009

1 komentar:

minefographics mengatakan...

Awalnya saya hanya mendengar ini sayup-sayup, berpikir apakah pendekatan ini sama dengan New Criticism, dan ternyata berbeda. Terima kasih bu Mel. Mengingat kembali sejarah, dulu sepertinya belum diajarkan teori ini. Hehehe...
em...tapi ada beberapa pertanyaan yang sedikit mengusik hati:
1. Konteks yang digunakan dalam pendekatan ini apakah melihat saat sebuah karya dibuat, atau narasi dalam karya? atau keduanya?
2. Saya pernah membaca bahwa pendekatan ini merupakan "Ideology Agency". Pertanyaannya: dalam pendekatan ini, ideologi yang ingin dilihat apakah ideologi pembuat karya atau dunia luar?
3. Saya juga pernah baca bahwa pendekatan ini melihat sejarah dari mereka yang termarginalkan atau dalam opini saya adalah karya-karya yang tidak 'mainstream'. Tapi menurut artikel tersebut,pemilihannya dilakukan secara random. Bagaimana penjelasannya? :D

Terima Kasih. Artikelnya membantu sekali :D Maaf pertanyaannya banyak. Soalnya ini hal yang baru bagi saya. Terima Kasih