Jumat, 04 September 2009

Membaca Sejarah Sastra Yudiono K.S.


oleh Asep Sambodja

Tidak ada tulisan yang netral. Tulisan ini pun mungkin tidak netral juga. Demikian pula dengan karya Yudiono K.S. dalam Pengantar Sejarah Sastra Indonesia yang terbit pada 2007. Dalam buku tersebut, tampak sekali ketidaknetralan itu. Ini, misalnya, dapat dilihat ketika Yudiono K.S. mengungkap sejarah sastra Indonesia tahun 1960-an, terutama dalam bab Masa Pergolakan Sastra Indonesia Tahun 1945-1965.
Dalam buku itu, Yudiono K.S. memposisikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai “tokoh antagonis” dalam sejarah sastra Indonesia. Seolah-olah yang dilakukan Lekra adalah melulu teror budaya terhadap seniman-seniman yang tidak “seiman” dengan Lekra. Yudiono K.S. menggambarkan Lekra seperti tokoh-tokoh antagonis dalam dongeng-dongeng yang hanya memiliki karakter hitam dan jahat. Yudiono sama sekali tidak membicarakan upaya Lekra memberdayakan kesenian rakyat, misalnya, ataupun karya-karya yang menonjol dari sastrawan Lekra.
Saya memahami bahwa dalam menulis sejarah pun, termasuk menulis sejarah sastra Indonesia, subyektivitas penulisnya akan muncul dengan sendirinya. Kecenderungan Yudiono K.S. yang lebih memihak pada sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang berpaham humanisme universal terbawa dalam penulisan sejarah sastra Indonesia tahun 1960-an. Namun, sebagai akademisi, bukankah sebaiknya kita menempatkan diri kita di tempat yang lebih independen, yang mengatasi dua pihak yang tengah berpolemik?
Hal ini memang tidak mudah. Namun, sebaiknya kita sebagai penulis berlaku adil kepada kedua belah pihak. Tidak hanya pada buku Yudiono K.S. saja, dalam beberapa buku sejarah sastra Indonesia, terutama yang menyinggung sejarah sastra Indonesia tahun 1960-an, tampak sekali kita telah memperlakukan sastrawan-sastrawan Lekra secara tidak adil. Kita, misalnya, secara semena-mena mengklaim bahwa Lekra itu PKI. Padahal tidak semua sastrawan Lekra itu anggota PKI. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, tidak merasa dirinya komunis.
Setelah peristiwa 30 September 1965, PKI dilarang dan Lekra termasuk lembaga yang diharamkan ada. Karya-karya sastrawan Lekra semuanya dilarang. Akibatnya karya-karya sastrawan Lekra itu lenyap dari publik, lenyap dari buku-buku pelajaran, lenyap dari tanah airnya sendiri. Apa arti semua ini? Artinya, kita kehilangan aset budaya yang luar biasa besarnya. Kita harus merasa rugi bahwa aset budaya yang diproduksi oleh sastrawan-sastrawan Lekra itu dinafikan begitu saja. Sama ruginya ketika kolonial Belanda memboyong naskah-naskah kuno yang ditulis tangan oleh nenek moyang kita ke Leiden, Belanda.
Yudiono K.S. sejatinya memperhatikan hal ini juga. Bahwa karya-karya sastrawan Lekra itu merupakan aset budaya yang disia-siakan oleh pemerintah dan bangsanya sendiri. Saya yakin Yudiono juga tahu bahwa setiap sastrawan merekam segala peristiwa yang ada di lingkungannya ke dalam karya-karyanya. Mereka tidak hanya merekam, tapi juga menyikapi setiap peristiwa yang ada sesuai dengan pemikiran dan keyakinannya. Bisa dibayangkan, berapa banyak sastrawan Lekra yang telah menghasilkan karya sastra, berapa banyak pemikiran mereka yang terekam di dalam karya-karya mereka. Kenapa kita sia-siakan?
Saya mengusulkan kepada Yudiono K.S. untuk segera merevisi buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia dengan memberi tempat kepada sastrawan-sastrawan Lekra. Dalam buku itu, sastrawan Lekra yang diberi tempat baru Pramoedya Ananta Toer. Padahal Lekra juga memiliki sastrawan-sastrawan dan pemikir-pemikir besar. Makanya, saya melihat ada yang kurang ketika Yudiono menempatkan karya sastra pilihan yang hampir semuanya berisi sastrawan Manikebu, kecuali karya Pramoedya.
Saya pikir, dengan bersikap adil seperti itu, kita sudah sedikit lebih beradab karena tidak menyia-nyiakan kekayaan rohani bangsanya sendiri.

Citayam, 4 September 2009

Tidak ada komentar: