oleh Asep Sambodja
Kita tahu bahwa Taufiq Ismail adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang paling getol menyerang balik sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sikapnya yang antikomunis menempatkannya berada pada polar yang berhadap-hadapan dan saling bertolak belakang dengan sastrawan-sastrawan Lekra. Karena itu, tulisan-tulisan Taufiq Ismail yang menyoroti peristiwa seputar 1965 murni dari perspektif seorang Manikebuis sejati.
Dalam beberapa kesempatan, baik melalui tulisan maupun ceramah-ceramahnya—antara lain di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Teater Utan Kayu—ia selalu mengatakan sangat mengagumi Buya Hamka. Kekagumannya pada Buya Hamka itu dikarenakan Buya Hamka bisa memaafkan Pramoedya Ananta Toer dan orang-orang yang pernah menuduhnya sebagai seorang plagiator. Tapi, apakah Taufiq Ismail bisa memaafkan sastrawan-sastrawan Lekra yang pernah “mengganyangnya”?
Kalau kita membaca tulisan-tulisan Taufiq Ismail seperti dalam Prahara Budaya dan tindakannya yang mengeluarkan petisi penolakan hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer pada 1995, tampaknya Taufiq Ismail belum ikhlas memaafkan sastrawan-sastrawan Lekra. Bahkan dalam Prahara Budaya itu tampak jelas upaya Taufiq Ismail untuk lebih memerosokkan sastrawan-sastrawan Lekra yang nasibnya sampai sekarang ini seperti berada dalam comberan.
Dengan menggunakan perspektif kekinian, kita sekarang bisa membaca bahwa baik kelompok Lekra maupun kelompok Manikebu sama-sama merasa menyuarakan kebenaran. Dari kasus ini kita bisa menduga bahwa ternyata kebenaran itu relatif. Kalau dikatakan seseorang menyuarakan kebenaran, maka yang menjadi pertanyaan adalah kebenaran menurut siapa?
Sastrawan dan seniman Lekra berprinsip bahwa pada saat itu revolusi di Indonesia belum selesai, karena itu para sastrawan dituntut untuk menghasilkan karya sastra yang bisa memberi semangat pada rakyat Indonesia. Bukan karya sastra yang sentimental, cengeng, dan individualistis. Semua karya sastra yang diproduksi harus tunduk pada pendirian politik adalah panglima.
Sementara sastrawan Manikebu melihatnya dari sisi lain, yakni kebebasan berekspresi. Dalam menghasilkan karya sastra, seorang sastrawan bebas mengekspresikan apa saja dan boleh menulis tentang apa saja, bahkan boleh mengekspresikan kegelisahan eksistensial pengarang itu sendiri. Sastrawan bebas menulis puisi cinta, patah hati, atau apapun.
Dari sini kelihatan bahwa sastrawan Lekra menghasilkan karya sastra yang bertendens; ada maksud yang jelas dalam karya sastranya. Sementara karya sastra yang diciptakan sastrawan Manikebu cenderung tidak bertendens. Tapi, kalau membaca puisi-puisi Taufiq Ismail dalam Tirani dan Benteng, jelas sekali bahwa karyanya itu juga bertendens. Salah satunya adalah puisi berjudul “Catatan Tahun 1965”. Berikut saya kutip seutuhnya.
Catatan Tahun 1965
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syaraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti Allah dipentaskan
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Puisi “Catatan Tahun 1965” merupakan puisi deskriptif yang melukiskan suasana di tahun 1965. Tapi, sekali lagi, pelukisan suasana itu dilihat dari perspektif seorang Manikebu—yang saat itu beroposisi dengan sastrawan Lekra yang dekat dengan kekuasaan. Apa yang hendak dikatakan Taufiq Ismail melalui puisi itu tergambar sangat jelas melalui tulisan Taufiq Ismail berjudul “Sehabis Jam Malam di Stasiun Gambir” yang menjadi pengantar buku Tirani dan Benteng.
Kalau kita membaca puisi “Catatan Tahun 1965” dari perspektif sastrawan Lekra, misalnya, tidak ada soal “Genjer-genjer” jadi nyanyian—yang saat itu dipopulerkan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Tidak soal pula warna merah dikibarkan. Demikian pula tidak masalah mementaskan drama Matine Gusti Allah, sama tidak masalahnya mementaskan Masyitoh atau Bung Besar.
Kalau kita lihat dari perspektif yang lain lagi, memang penahanan terhadap Mochtar Lubis yang membongkar kasus korupsi Ruslan Abdul Gani dan penahanan Hamka yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno merupakan ketidakadilan yang nyata. Demikian pula pelarangan buku, pelarangan musik “ngak ngik ngok” merupakan pembelengguan kebebasan berekspresi.
Dalam pengantar buku Tirani dan Benteng, Taufiq Ismail menulis, “Ofensif di bidang seni budaya tampak pada pembakaran buku dan piringan hitam Beatles serta lagu populer Indonesia yang diejek sebagai lagu ngak ngik ngok di lapangan Ikada/Monas dan di kampus Universitas Indonesia oleh Lekra, Pemuda Rakyat, dan CGMI/PKI” (hlm. Xi).
Benarkah Lekra ikut membakar buku? Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku hal itu sama sekali tidak terbukti. Pembakaran buku-buku USIS itu dilakukan oleh Pemuda Rakyat sebagai protes terhadap Amerika Serikat setelah terbunuhnya Perdana Menteri Konggo, Patrice Emery Lumumba. Sastrawan Lekra mengaku tidak melakukan pembakaran buku. “Buat apa saya membakar buku mereka. Lebih baik buku itu saya bawa pulang dan saya koleksi di rumah,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Puisi yang menjadi ciri khas sastrawan Manikebu adalah puisi yang jauh dari slogan politik adalah panglima. Salah satu puisi Taufiq Ismail yang ditulis pada 1964 mencerminkan perasaan penyair yang sepi saat itu. Puisi “Oda pada van Gogh” memperlihatkan suasana hati itu:
Oda pada van Gogh
Pohon sipres. Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua
Langit berombak
Bulan di sana
Sepi. Sepi namanya
1964
Citayam, 24 September 2009
Kita tahu bahwa Taufiq Ismail adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang paling getol menyerang balik sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sikapnya yang antikomunis menempatkannya berada pada polar yang berhadap-hadapan dan saling bertolak belakang dengan sastrawan-sastrawan Lekra. Karena itu, tulisan-tulisan Taufiq Ismail yang menyoroti peristiwa seputar 1965 murni dari perspektif seorang Manikebuis sejati.
Dalam beberapa kesempatan, baik melalui tulisan maupun ceramah-ceramahnya—antara lain di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Teater Utan Kayu—ia selalu mengatakan sangat mengagumi Buya Hamka. Kekagumannya pada Buya Hamka itu dikarenakan Buya Hamka bisa memaafkan Pramoedya Ananta Toer dan orang-orang yang pernah menuduhnya sebagai seorang plagiator. Tapi, apakah Taufiq Ismail bisa memaafkan sastrawan-sastrawan Lekra yang pernah “mengganyangnya”?
Kalau kita membaca tulisan-tulisan Taufiq Ismail seperti dalam Prahara Budaya dan tindakannya yang mengeluarkan petisi penolakan hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer pada 1995, tampaknya Taufiq Ismail belum ikhlas memaafkan sastrawan-sastrawan Lekra. Bahkan dalam Prahara Budaya itu tampak jelas upaya Taufiq Ismail untuk lebih memerosokkan sastrawan-sastrawan Lekra yang nasibnya sampai sekarang ini seperti berada dalam comberan.
Dengan menggunakan perspektif kekinian, kita sekarang bisa membaca bahwa baik kelompok Lekra maupun kelompok Manikebu sama-sama merasa menyuarakan kebenaran. Dari kasus ini kita bisa menduga bahwa ternyata kebenaran itu relatif. Kalau dikatakan seseorang menyuarakan kebenaran, maka yang menjadi pertanyaan adalah kebenaran menurut siapa?
Sastrawan dan seniman Lekra berprinsip bahwa pada saat itu revolusi di Indonesia belum selesai, karena itu para sastrawan dituntut untuk menghasilkan karya sastra yang bisa memberi semangat pada rakyat Indonesia. Bukan karya sastra yang sentimental, cengeng, dan individualistis. Semua karya sastra yang diproduksi harus tunduk pada pendirian politik adalah panglima.
Sementara sastrawan Manikebu melihatnya dari sisi lain, yakni kebebasan berekspresi. Dalam menghasilkan karya sastra, seorang sastrawan bebas mengekspresikan apa saja dan boleh menulis tentang apa saja, bahkan boleh mengekspresikan kegelisahan eksistensial pengarang itu sendiri. Sastrawan bebas menulis puisi cinta, patah hati, atau apapun.
Dari sini kelihatan bahwa sastrawan Lekra menghasilkan karya sastra yang bertendens; ada maksud yang jelas dalam karya sastranya. Sementara karya sastra yang diciptakan sastrawan Manikebu cenderung tidak bertendens. Tapi, kalau membaca puisi-puisi Taufiq Ismail dalam Tirani dan Benteng, jelas sekali bahwa karyanya itu juga bertendens. Salah satunya adalah puisi berjudul “Catatan Tahun 1965”. Berikut saya kutip seutuhnya.
Catatan Tahun 1965
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syaraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti Allah dipentaskan
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Puisi “Catatan Tahun 1965” merupakan puisi deskriptif yang melukiskan suasana di tahun 1965. Tapi, sekali lagi, pelukisan suasana itu dilihat dari perspektif seorang Manikebu—yang saat itu beroposisi dengan sastrawan Lekra yang dekat dengan kekuasaan. Apa yang hendak dikatakan Taufiq Ismail melalui puisi itu tergambar sangat jelas melalui tulisan Taufiq Ismail berjudul “Sehabis Jam Malam di Stasiun Gambir” yang menjadi pengantar buku Tirani dan Benteng.
Kalau kita membaca puisi “Catatan Tahun 1965” dari perspektif sastrawan Lekra, misalnya, tidak ada soal “Genjer-genjer” jadi nyanyian—yang saat itu dipopulerkan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Tidak soal pula warna merah dikibarkan. Demikian pula tidak masalah mementaskan drama Matine Gusti Allah, sama tidak masalahnya mementaskan Masyitoh atau Bung Besar.
Kalau kita lihat dari perspektif yang lain lagi, memang penahanan terhadap Mochtar Lubis yang membongkar kasus korupsi Ruslan Abdul Gani dan penahanan Hamka yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno merupakan ketidakadilan yang nyata. Demikian pula pelarangan buku, pelarangan musik “ngak ngik ngok” merupakan pembelengguan kebebasan berekspresi.
Dalam pengantar buku Tirani dan Benteng, Taufiq Ismail menulis, “Ofensif di bidang seni budaya tampak pada pembakaran buku dan piringan hitam Beatles serta lagu populer Indonesia yang diejek sebagai lagu ngak ngik ngok di lapangan Ikada/Monas dan di kampus Universitas Indonesia oleh Lekra, Pemuda Rakyat, dan CGMI/PKI” (hlm. Xi).
Benarkah Lekra ikut membakar buku? Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku hal itu sama sekali tidak terbukti. Pembakaran buku-buku USIS itu dilakukan oleh Pemuda Rakyat sebagai protes terhadap Amerika Serikat setelah terbunuhnya Perdana Menteri Konggo, Patrice Emery Lumumba. Sastrawan Lekra mengaku tidak melakukan pembakaran buku. “Buat apa saya membakar buku mereka. Lebih baik buku itu saya bawa pulang dan saya koleksi di rumah,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Puisi yang menjadi ciri khas sastrawan Manikebu adalah puisi yang jauh dari slogan politik adalah panglima. Salah satu puisi Taufiq Ismail yang ditulis pada 1964 mencerminkan perasaan penyair yang sepi saat itu. Puisi “Oda pada van Gogh” memperlihatkan suasana hati itu:
Oda pada van Gogh
Pohon sipres. Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua
Langit berombak
Bulan di sana
Sepi. Sepi namanya
1964
Citayam, 24 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar