Jumat, 25 September 2009

Goenawan Mohamad dan Manikebu



oleh Asep Sambodja

Dalam esai panjangnya, “Afair Manikebu, 1963-1964” yang terdapat dalam buku Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (2002), Goenawan Mohamad seolah-olah baru menyadari bahwa proses kelahiran Manifes Kebudayaan (Manikebu) tidak steril dari campur tangan militer. Ia menulis, “Dalam sebuah tulisan di tahun 1982, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa ia bekerja secara sukarela pada dinas rahasia angkatan bersenjata” (hlm. 144). Menyadari hal itu, Goenawan Mohamad memberikan sebuah permakluman dengan mengatakan, “Mungkin suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di antara mereka yang dimusuhi atau memusuhi PKI” (hlm. 144).
Pengakuan Wiratmo Soekito itu sekaligus membuktikan bahwa ada skenario militer untuk menghadapi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang berafiliasi dengan PKI—yang mendominasi wacana di bidang kebudayaan. Saya tidak tahu apakah militer saat itu sangat patuh pada pendapat Bung Karno yang mengatakan, “Angkatan perang tidak boleh main politik”, sehingga mereka tidak terjun langsung untuk berpolitik di bidang kebudayaan, melainkan menggunakan kaki tangannya seperti Wiratmo Soekito—yang saat itu sangat dikagumi oleh intelektual muda seperti Goenawan Mohamad—atau karena ada alasan yang lain.
Kita tahu bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa menghentikan langkah PKI saat itu adalah angkatan bersenjata, terutama Angkatan Darat, yang menolak gagasan Ketua CC PKI D.N. Aidit untuk mempersenjatai petani dan buruh sebagai angkatan kelima. Di bidang kebudayaan, karena Pramoedya Ananta Toer sering menggunakan istilah pengganyangan dan pembabatan, yang membikin takut sastrawan-sastrawan Manikebu sebagaimana diakui Goenawan Mohamad, membuat Lekra sebagai kendaraan PKI di bidang kebudayaan yang berfungsi memuluskan langkah PKI menuju kekuasaan. Karena itulah pihak militer—melalui Wiratmo Soekito—membuat suatu gerakan dengan memanfaatkan mahasiswa dan pekerja media; dalam hal ini Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dan H.B. Jassin serta D.S. Moeljanto. Ternyata gerakan yang bermula dari selembar kertas yang berisi pernyataan Manifes Kebudayaan ini cukup efektif untuk menguras energi sastrawan-sastrawan Lekra dan sastrawan-sastrawan prokomunis.
Ketika sastrawan Manikebu menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) pada Februari 1964, Angkatan Bersenjata mengklaim bahwa pihaknya berada di belakang KKPI. Goenawan Mohamad menilai konferensi itu merupakan suatu kegagalan, karena tidak ada satu sesi pun untuk membicarakan Manikebu. Selain itu, wartawan tidak berani meliput acara itu karena penyelenggaraan KKPI dikecam oleh Lekra dan PKI.
Tiga bulan kemudian, Manikebu dilarang oleh Presiden Soekarno, dan para penandatangan Manikebu menjadi gugup. H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo langsung mengirim surat permintaan maaf kepada presiden, antara lain, untuk melindungi sastrawan-sastrawan Manikebu dari pengganyangan yang lebih masif.
Yang menarik, Goenawan Mohamad mengakui bahwa “Kini memang harus diakui bahwa pengganyangan seperti itu belum sebanding dengan yang ditanggungkan para penulis dan cendekiawan prokomunis setelah hancurnya PKI secara keras dan berdarah beberapa waktu setelah 1965” (hlm. 108). Hanya saja, sayangnya, Goenawan tidak mengelaborasi pernyataannya itu. Setelah tahu bahwa yang dialami penulis dan cendekiawan prokomunis mengalami pengganyangan secara keras dan berdarah, apa pendapat Goenawan Mohamad? Apa yang dilakukannya? Hal ini tidak terjelaskan dalam sebuah tulisan panjang yang memang memfokuskan bicara soal Manikebu dari tahun 1963-1964. Tahun 1965-1966 memang tidak dibicarakan dalam tulisan itu, meskipun dia tahu bahwa justru pada tahun 1965-1966 itulah banyak darah yang tumpah. Bagaimana Goenawan Mohamad sebagai seorang sastrawan tidak tertarik menjelaskan hal itu?
Memang agak sulit untuk menghadirkan luka sastrawan-sastrawan Lekra dalam artikel yang ditulis pada Maret-April 1988 itu. Saat itu Presiden Soeharto yang menyerukan pembasmian PKI “sampai ke akar-akarnya” masih berkuasa. Wajar saja kalau Goenawan Mohamad tidak berani menulis kenyataan 1965-1966. Tidak hanya Goenawan saja yang takut, hampir semua intelektual di negeri ini takut pada Soeharto—hingga ia lengser keprabon madeg pandito.
Jadi, saya meragukan premis Goenawan Mohamad yang mengatakan Manikebu “merupakan serangkaian pokok pikiran, suatu pendefinisian sikap dasar beberapa sastrawan dan intelektual Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut waktu itu: kreativitas dan politik” (hlm. 107). Keraguan saya berdasarkan pengakuan Wiratmo Soekito—yang menulis konsep Manikebu—bahwa ia bekerja pada dinas intelijen angkatan bersenjata secara sukarela. Dengan demikian, upaya pendefinisian masalah kreativitas dan politik itu tidak murni dari sastrawan dan intelektual Indonesia. Ada udang di balik kerikil.

Citayam, 24 September 2009

2 komentar:

read and rebel mengatakan...

mantab setuju sekali, sastra untuk manusia, bukan sebaliknya, hidup pembumian sastra.

read and rebel mengatakan...

benar,setuju, mantab, sastra untuk manusia, bukan sebaliknya, hidup pembumian sastra