Rabu, 23 September 2009

Situasi 1964 di Mata Hartojo Andangdjaja



oleh Asep Sambodja

1964

Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa

di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa

maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di bumi Swiss
jauh dari Perancis

maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri


Hartojo Andangdjaja adalah penyair yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Tahun 1964 merupakan tahun pelarangan Manikebu oleh Presiden Soekarno. Bisa dibayangkan posisi sastrawan Manikebu yang tertindas karena penguasa melarang adanya manifes yang lain selain Manifesto Politik yang telah dikeluarkan Bung Karno. Manikebu dilarang, antara lain, karena dinilai ragu-ragu terhadap revolusi, sehingga kelompok ini dianggap sebagai kontra revolusi. Dan karena itu pula diganyang oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang pro Bung Karno.
Puisi “1964” memperlihatkan kesunyian atau keterasingan yang dirasakan oleh penyair. Sebagai salah satu penandatangan Manikebu, tentu saja Hartojo Andangdjaja merasa teraniaya. Ia belajar dari sastrawan-sastrawan dunia seperti Bertold Brecht, Voltaire, Boris Pasternak, dan Vladimir Mayakowsky. Hartojo Andangdjaja merasakan kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan sastrawan-sastrawan itu, karena memiliki pandangan yang berbeda dengan penguasa pada zamannya.
Bertold Brecht adalah penyair dan dramawan terkemuka asal Jerman. Ia menjadi komunis setelah mempelajari Das Kapital Karl Marx. Brecht sempat berurusan dengan pemerintah komunis Jerman Timur karena puisinya yang mengkritik penguasa. Dalam sebuah puisinya, “Kepada Angkatan Mendatang”, Brecht menulis, “Zaman apakah ini, ketika bicara tentang pohon dianggap kejahatan.” Pada 1950, ia meninggalkan Jerman Timur dan menjadi warga negara Austria.
Voltaire adalah sastrawan terkemuka Prancis yang sering diasingkan gara-gara kritik dalam karyanya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Candide. Voltaire dinilai menanam benih-benih ateisme. Ia dituduh telah mempengaruhi publik Prancis dengan pikiran-pikirannya hingga meletus Revolusi Prancis 1789 dan mengantar Raja Louis XVI ke tiang guillotine. Akibat tulisannya yang tajam pula ia diasingkan ke sebuah desa kecil Ferney, di pinggiran Prancis. Tapi, Voltaire memiliki keyakinan sendiri, sebagaimana yang dikatakannya kepada Jean-Jacques Rousseau, “Kalau ada orang yang pantas mengeluh karena karya sastra, sayalah orangnya, karena sepanjang waktu dan di semua tempat, karya-karya sastra itu selalu membuat saya dikejar-kejar orang. Namun kita wajib mencintainya, walaupun sering disalahgunakan orang, seperti kita harus mencintai pergaulan di masyarakat, yang kehangatannya selalu dikacaukan oleh begitu banyak orang jahat; sebagaimana kita juga wajib mencintai tanah air, walaupun penuh dengan ketidakadilan; sebagaimana kita harus tetap mencintai dan mengabdi kepada Tuhan yang maha agung, walaupun prasangka dan fanatisme begitu sering mengotori pemujaannya.”
Boris Pasternak adalah sastrawan Rusia yang meraih hadiah Nobel pada 1958. Ia menolak pemberian Nobel itu akibat desakan pemerintahnya. Penyair dan novelis ini dikenal di dunia melalui karyanya Dr. Zhivago (1957), yang mengisahkan Revolusi Rusia dari sisi yang lebih sentimental. Di Uni Soviet, novel itu dilarang beredar. Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer juga menyerukan agar novel yang diterjemahkan Trisno Sumardjo itu tidak bebas beredar.
Sementara Vladimir Mayakowsky adalah sastrawan Rusia yang beraliran futurisme yang paling terkenal. Pada tahun 1926, ia menulis sebuah puisi: “Aku tidak ingin seperti kelopak bunga, yang tanggal sehabis pagi, dan menjadi percuma!” Empat tahun kemudian, ketika ia disisihkan dari masyarakat karena mengkritik penguasa, ia bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya.
Saya sengaja menguraikan latar belakang sastrawan-sastrawan dunia yang diacu oleh Hartojo Andangdjaja untuk bisa memahami dengan baik puisi “1964”. Sastrawan dunia yang dijadikan acuan itu pada dasarnya mengalami keterasingan. Dan perasaan gelisah itu pula yang muncul pada diri penyair. Kita tahu bahwa pada 1964, suara yang mendominasi di seantero republik ini adalah seruan untuk revolusi, yang sering digemakan oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Presiden Soekarno—yang memegang kendali Demokrasi Terpimpin. Karena itu, wajar kalau ada suara penyair yang merasa dipinggirkan. “Di manakah akan kuselamatkan kini, suaraku yang lembut bernama puisi.”

Citayam, 23 September 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Posting yang memikat Bung Asep. Saya kenal nama Hartojo Andangdjaja saat masih SMP awal 1980-an di Yogyakarta. Sebabnya, kalau ada lomba baca puisi menjelang perayaan 17 Agustus, salah satu puisinya berjudul Rakyat dijadikan sebagai puisi wajib. Hanya saja, ikut-ikut lomba baca puisi saya belum pernah menang. Kalah melulu.Padahal penampilan saya saat baca puisi ya tidak jelek-jelek amat. Rupanya masih banyak yang lebih bagus. :)


Salam kenal Bung. Kalau tidak salah di Republika ya?